Jumat, 17 Desember 2010

GULA AREN, BENTENG DAULAT PANGAN, MERDEKA DARI KELAPARAN DAN KETERGANTUNGAN IMPOR

Oleh DaRu indriYo
Pangan adalah kebutuhan pokok utama dalam kehidupan ini. Bila pangan saja tidak tercukupi, maka jangan berharap bangsa suatu negeri akan makmur sehingga bangsa itu mampu mewujudkan cita-cita luhurnya. Kemerdekaan dari penjajahan pangan, keterbatasan akses terhadap sumber daya pangan, ketidakberdayaan dalam pengolahan bahan pangan, dan ketiadaan infrastruktur untuk mendistribusikan keanekaragaman konsumsi pangan, menjadi agenda mendesak untuk diselesaikan tiap insan yang sadar akan pentingnya nutrisi dan gizi.
Pangan yang cukup, aman dan bergizi akan dapat mencegah lemah fisik, lemah otak, loading lama, lembek daya intelegensia, IQ jongkok dan buntu daya nalar. UU No.7 Tahun 1996 telah mengamanatkan: ”Pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan”. Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dan tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya aman serta terjangkau. GBHN 1999-2004: ”Peningkatan ketahanan pangan dilaksanakan dengan berbasis sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan petani atau nelayan dan pelaku usaha skala kecil lainnya. Adanya otonomi daerah, idealnya Bupati melalui BUMD pangan mampu membeli hasil panen dari petani atau nelayan. Lahan pertanian yang subur atau lautan yang tak tercemar merupakan ibunya sumber kemakmuran bagi petani maupun nelayan, karenanya akan menghasilkan panen yang berlimpah sesuai harapan. Saat ini, petani cukup kesulitan untuk bercocok tanam, karena banyak sekali adaptasi terhadap perubahan iklim dan kendala mitigasi dalam menghadapi dampak perubahan-perubahan yang tak menentu. Mencari lahan yang masih subur pun tidak mudah karena lahan pangan tergusur oleh pembuatan jalan raya, pembukaan areal tambang, pekebunan, perumahan, pasar modern, super mall, perkantoran, kawasan industri atau pabrik-pabrik. Impor Pangan, Solusi Publik atau Pundi Pribadi? Keamanan pangan menjadi hal yang hakiki dalam kehidupan manusia sehari-hari. Urusan impor pangan menjadi tren yang dari tahun ke tahun semakin menggunung, mulai impor gula, kedelai, tepung terigu, beras, jagung, daging, aneka buah dan yang terakhir impor garam, apakah suatu saat nanti kita juga akan impor air? Siapa sebenarnya yang mendulang keuntungan terbesar dari siklus impor pangan ini? Apa benar rakyat kita telah menikmati manfaat kebijakan dan realisasi impor ini? Apakah ini solusi pengadaan pangan yang bergizi, higienis, efektif dan efisien untuk publik? Sistem perlindungan ketahanan pangan hingga saat ini belum dapat dinikmati warga, meskipun penduduk sejak dulu sebenarnya sudah mempunyai sistem yang diwariskan dari para leluhur berupa ’lumbung’ dari mulai individu, keluarga hingga desa. Aneka macam sumber pangan baik nabati maupun hewani telah ada di dalam konteks ’lumbung’ tersebut, sehingga ketika musim paceklik, gagal panen atau terjadi bencana maka tabungan pangan ini dapat dikeluarkan. Tren impor beberapa komoditas pangan kita sejak 2009 hingga 2013 terus meningkat kecuali beras, dengan urutan terbesar impornya sebagai berikut Gula 3,67 juta ton dengan nilai US$ 1,9 miliar, Jagung 3,19 juta ton dengan nilai US$ 920 juta, Kedelai 1,7 juta ton dengan nilai US$2,4 miliar, Buah 0,5 juta ton dengan nilai US$ 6677 juta, Sayuran 0,79 juta ton dengan nilai US$ 632 juta dan Beras 0,47 juta ton dengan nilai US$ 246 juta.
Gambar 1. Tren Realisasi Impor Gula Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia)
Gambar 2. Tren Realisasi Impor Jagung Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia)
Gambar 3. Tren Realisasi Impor Kedelai Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia)
Gambar 4. Tren Realisasi Impor Buah Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia)
Gambar 5. Tren Realisasi Impor Sayur Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia) Gambar 6. Tren Realisasi Impor Beras Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia) Jargon kebutuhan pokok 4 sehat 5 sempurna sudah tidak relevan lagi, karena kebutuhan yang 4 sehat berupa karbohidrat, sayur, buah, lauk pauk dan susu tidak dapat dipenuhi secara higienis dan bergizi di dalam negeri, untuk mendapatkan bahan yang berkualitas dan harga murah kebanyakan harus impor dari luar negeri. Seolah produksi dalam negeri tak ada yang memenuhi standar pangan yang bermutu dan organik, sementara petani dan nelayan dibiarkan liar berjuang sendiri tanpa insentif yang berarti dari pemerintah atau kemitraan dengan swasta yang setara sehingga dapat menopang logika produksi mereka. Ruang nyaman praktek kartel menguasai komoditas pangan nasional sudah berlangsung lama, jika ada pemain baru yang akan masuk untuk mewarnai maka mereka akan bereaksi keras sebab akan menggeser cashflow di kantongnya yang sudah mapan. Bagi yang bermental trader yang ingin mendapat manfaat sesaat sebagai pemburu rente maka mereka akan mati-matian bertahan dalam persekongkolan hunger game ini demi pundi pribadi. Sebaliknya, bagi yang bermental investor tentu mereka akan berpikir jangka panjang demi manfaat semua pihak dengan mengutamakan kepentingan mayoritas pihak yang membutuhkan. Kartel pangan ini, telah merasuk menggurita, dengan impor gula dari Thailand, Australia, Selandia Baru, beras dari Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar, daging yang mayoritas dari Australia dan Selandia Baru, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina. Dengan potensi lahan tidur atau nganggur, hingga saat ini kebutuhan ubi kayu atau singkong pun di tahun 2013 masih mengimpor sekitar 100.798 ribu kg ubi kayu dengan nilai US$ 38.380 yang berasal dari Thailand dan Vietnam. Apakah benar petani kita sudah tidak mampu menanam singkong? Apakah bibit singkong yang berkualitas sudah tidak ada? Ataukah minat petani untuk menanam sudah terhenti?
Persediaan pangan kita sangat beraneka ragam, intervensi kolonialisme, industri, godaan pasar dengan motor kapitalisme global acap kali memonopoli komoditi tertentu dengan monokultur sehingga jenis-jenis yang lain terabaikan, tersingkir dan akhirnya punah. Kelangkaan pangan sebenarnya tidak boleh terjadi, mengapa? Di tiap-tiap daerah telah dikaruniai sumber bahan makanan pokok baik itu karbohidrat, protein dan vitamin yang cukup bergizi, karena nalar penyeragaman yang salah-kaprah menjadikan salah satu sumber pangan menjadi dominan, sehingga jadi bumerang jika terjadi gagal panen atau mati maka tak dapat mencukupi kebutuhan. Misalnya, sumber karbohidrat di lahan petani atau nelayan ada 9 sumber dapat berasal dari beras, jagung, sorgum, sagu, ubi jalar, ubi kayu atau singkong, kentang, talas, rumput laut tapi kebijakan pemerintah hanya mengakomodir satu sumber yang dianggap prioritas pangan atau konsumsi terbanyak dengan mengabaikan sumber-sumber yang lain. Akhirnya ketika terjadi masa paceklik, puso atau gagal panen yang massif, karena dominasi beras ini seolah-olah tidak ada sumber pengganti yang lain maka mau gak mau kebijakan instan berupa impor dianggap sebagi solusi terbaiknya. Nalar kebutuhan mendasar jika diselesaikan dengan cara instan tersebut, dalam jangka panjang dapat mengancam kehidupan tiap individu manusia dan eksistensi bangsa. Negara hadir seharusnya mampu memberikan perlindungan demi kepentingan publik, bukan menjadi fasilitator segelintir oknum kartel pengambil manfaat sesaat dengan aji mumpung demi kantong pribadi. Dalam 10 tahun terakhir ini impor pangan Indonesia terus mengalami pertumbuhan, impor pangan di tahun 2003 tercatat US$ 3,34 miliar, sedangkan di tahun 2013 impor pangan mencapai US$ 14,90 miliar, atau tumbuh 4 kali lipat. Kontribusi pertanian dalam PDB (Pendapatan Domestik Bruto) terus turun dari waktu ke waktu, yaitu 15,19% di 2003, sedangkan di 2013 lebih kecil hanya 14,43% dan melonjaknya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252,16 juta jiwa telah memicu tingginya impor pangan. Indonesia sekarang penduduk ke empat terbesar di dunia yang mengonsumsi produk pertanian kita. Jadi diperlukan kebijakan yang berpihak pada kedaulatan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani. Pemerintah telah berupaya dalam pengelolaan cadangan pangan melalui kegiatan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP) baik di provinsi, kabupaten maupun kota. Cadangan pangan yang dikelola masyarakat dikembangkan serta dilaksanakan melalui kegiatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) dan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) serta pengembangan Desa Mandiri Pangan (Desa-Mapan) dan lumbung pangan. Sebagian besar penduduk kita adalah masyarakat petani dan nelayan yang tinggal di wilayah perdesaan dan pulau-pulau kecil, maka aspek distribusi untuk mengakses pangan sering menjadi kendala. Distribusi pangan dimaksudkan untuk menjamin seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan mutu yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau, melalui pengembangan sistem distribusi yang efektif dan efisien. Pemerintah juga mengembangkan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) pada Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN). Pola pendekatan LDPM yaitu melalui pemberdayaan masyarakat atau kelompok tani agar mampu mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif secara berkelanjutan dan berkembang secara swadaya. Pengembangan LDPM ini adalah untuk peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga, rumah tangga, atau kelompok petani khususnya di sentra produksi, agar petani memperoleh harga pokok produksi (HPP) yang lebih baik, memperkuat pengelolaan cadangan pangan, sehingga memudahkan akses terhadap pangan serta nilai tambah dari hasil produksinya, hal ini juga akan menjaga stabilitas harga produksi di tingkat petani. Seberapa efektif kinerja lembaga-lembaga tersebut di lapangan sehingga mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan pangan ini? Apakah sudah ada beberapa daerah yang terbukti berjalan? Industri Gula Tebu Menuju Titik Jenuh Target revitalisasi industri gula di tahun 2014 oleh pemerintah dengan upaya swasembada produksi gula 5,7 ton sepertinya gagal tercapai, meski rencana ini didukung pembangunan pabrik gula yang baru dengan jumlah 15 hingga 20 pabrik. Selain memproduksi gula 2,31 juta ton pada tahun 2011, Indonesia juga harus mengimpor gula mentah (raw sugar) 108.889 ton dan gula kristal putih 143,479 ton. Indonesia adalah salah satu konsumen gula terbesar dunia setelah Amerika Latin. Sejak 1673, Belanda telah memulai gaung pengembangan industri gula tebu secara monokultur di dataran rendah sekitar Batavia, dengan pabriknya di daerah Kebayoran Lama. Hasil dari pencanangan ekspansi gula tebu ini yaitu rekor menjadi eksportir gula terbesar dunia setelah Kuba di tahun 1930. Pada tahun tersebut jumlah pabrik gula mencapai 179 buah yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Nasionalisasi pabrik gula mulai tahun 1957 telah menurunkan kinerja industri gula, hingga tahun 1975 pemerintah mencanangkan Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) demi peningkatan produksi dan produktivitas gula domestik. Seiring dengan hal tersebut, tahun 1995 pemerintah juga memberi kewenangan kepada Bulog untuk mengendalikan penyediaan bahan pangan pokok dan harganya, termasuk di dalamnya gula. Tarif bea masuk impor gula pada saat itu adalah 0 % (nol persen). Industri gula tebu nasional menghadapi permasalahan yang kompleks, seperti halnya pabrik gula yang sudah uzur karena rata-rata sudah berumur di atas 80 tahun. Pokok masalah gula tebu ini dimulai dari menurunnya luas areal tanaman tebu, rendahnya produktivitas tebu yang dihasilkan petani, rendahnya rendemen yang dihasilkan serta manajemen pabrik gula yang tidak efisien. Pada tahun 2003, ada 58 pabrik gula (PG) yang masih beroperasi milik BUMN, 6 PG milik swasta, yang rata-rata PG ini beroperasi di bawah kapasitas giling disebabkan oleh mesin telah uzur dan tidak mendapat perawatan yang memadai.
Komoditas Gula yang terdapat di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP merupakan jenis gula yang hanya untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, restoran, dan hotel, dan sebagai bahan penolong oleh perajin makanan dan minuman skala rumah tangga (home industri). Sementara GKR merupakan jenis gula yang hanya digunakan oleh industri makanan, minuman dan farmasi skala besar, dan dilarang masuk ke pasar gula GKP. Harga domestik GKP direpresentasikan oleh harga GKP di tingkat konsumen di pasar tradisional di beberapa ibukota provinsi. Perkembangan selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), harga GKP di pasar domestik meningkat tajam, yaitu dari Rp 6.539/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 13.212 pada tahun 2012. Hal ini berarti harga domestik naik lebih dari 100% atau rata-rata hampir 20%/tahun. Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi GKP, sebenarnya produksi GKP sudah cukup, bahkan ada surplus, sehingga tidak perlu dilakukan impor. Namun untuk mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi gula (GKP dan GKR), produksi masih kurang. Selama 2008-2012, jumlah kekurangan (defisit) cenderung membesar, yaitu dari 1.550 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.957 ribu ton pada tahun 2012, yang masing-masing merupakan 36,7% dan 42,9% dari produksi masing-masing tahun tersebut. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat besar. Untuk menutup defisit tersebut dilakukan impor.
Selama 2008-2010 volume impor gula (berbagai jenis gula tebu) terus meningkat, yaitu dari 984 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.383 ribu ton pada tahun 2010, yang berarti meningkat 20,1%/tahun. Pada tahun 2011 dan 2012, volume impor gula masing-masing mencapai 181.60 ribu ton dan 1.150 ribu ton. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, harga paritas impor GKP terus meningkat, yaitu dari Rp 4.772/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 9.157 pada tahun 2012. Hal ini berarti harga internasional gula GKP meningkat sekitar 18% per tahun. Meningkatnya harga paritas impor yang merepresentasikan harga internasional tersebut disebabkan terutama oleh meningkatnya harga impor dalam US$, dimana lonjakan harga terjadi pada tahun 2011. Nilai tukar US$ terhadap rupiah berfluktuasi dan tidak menunjukkan penguatan yang signifikan sehingga tidak berdampak meningkatkan harga impor dalam rupiah.
Meski angin optimisme pemerintah untuk swasembada gula dengan memanfaatkan lahan terlantar 350 ribu hektar di Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan, namun kendala teknis, dan biaya pembangunan cukup besar yakni Rp1,5 triliun sampai Rp2 triliun. Bagai ayam dan telur, revitalisasi 27 pabrik gula seringkali tidak dibarengi dengan produktivitas lahan tanaman tebu, begitu pula ketika produksi tebu meningkat justru mesin giling rusak karena sudah lama tidak dipakai. Menurut Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), masuknya gula rafinasi ke pasar dalam negeri membuat keberadaan petani tebu terpuruk. Sejak dibukanya kran impor gula rafinasi tahun 2010 lalu, menurut Soemitro Samadikoen justru semakin menghancurkan petani tebu. Kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman tahun 2012 sekitar 2,4 juta ton – 2,5 juta ton. Sementara, Dewan Gula Indonesia (DGI) memutuskan impor gula mentah untuk konsumsi langsung masyarakat tahun 2012 sebanyak 240 ribu ton.
Kegagalan target pemerintah dalam swasembada gula tebu ini tidak saja dikarenakan masalah on farm tetapi juga struktur perdagangan dunia yang tidak adil. Membanjirnya gula impor oleh para pelaku usaha yang mendewakan harga murah, telah berakibat pada terpuruknya industri gula nasional dan otomatis juga petani terkena dampak buruk ini. Ketergantungan terhadap impor gula yang semakin meningkat maka akan mematikan industri gula dalam negeri. Hal ini jika dibiarkan terus berakibat pada kerawanan pangan yang semakin akut, Indonesia sebagai negara yang punya penduduk yang besar telah gagal memenuhi kebutuhan pangannya sendiri atau tidak dapat menangkap peluang konsumen di depan mata. Kuantitas produksi gula jika mau swasembada seharusnya dapat mencapai target sekitar 5,77 juta ton Gula Kristal Putih (GKP). Target tersebut dapat tercapai jika, ada penambahan 350.000 ha lahan tanaman tebu yang baru, revitalisasi 52 pabrik gula milik BUMN, dan penambahan 10 pabrik gula baru. Sementara ini, ada 12 peusahaan yang lahannya siap dikonversi untuk menjadi kebun tebu di areal hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) sebesar 246.213,35 ha di Lampung, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Papua.
Ada 22 perusahaan dengan ijin prinsip kebun tebu sebesar 333,3770 ha, dan 16 perusahaan konsesi tebu 448.142 ha. Arifin Tasrif menegaskan perlunya sinergi antara Pangan, Pupuk dan Energi Gas, masing-masing ada kontrak konsesi atau kerjasama selama 20 tahun sehingga perusahaan dapat penghasilan dan nilai tambah yang besar di dalam negeri serta akan berdampak multiplier effects. Sebagian besar, hampir sekitar 52% kebutuhan gula di Indonesia masih dipenuhi dari impor. Karena itu, rantai pasok gula dapat dibedakan menjadi gula produksi di dalam negeri dan gula impor. Gula produksi dalam negeri dapat dibedakan menjadi gula yang berasal dari tebu petani dan tebu perusahaan besar (BUMN dan Swasta) dan gula yang berasal dari impor gula mentah. Produksi gula dengan menggunakan gula mentah impor semula hanya bertujuan untuk mengisi kapasitas pabrik gula yang tidak terpakai (idle capacity). Namun akhir-akhir ini ada tujuan lain, yaitu mencari keuntungan besar karena: (1) Harga gula mentah sebagai bahan baku murah, sementara harga di dalam negeri tinggi; (2) Pasokan gula mentah sebagai bahan baku lebih mudah diperoleh dalam waktu cepat; dan (3) Biaya produksi lebih rendah karena tidak membangun kebun tebu sendiri. Dengan demikian, maka rantai pasok gula produksi dalam negeri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gula dari kebun tebu di dalam negeri dan gula dari gula mentah impor. Menurut regulasi yang berlaku, gula yang diproduksi dari gula mentah impor disebut Gula Kristal Rafinasi (GKR) hanya boleh dijual kepada industri makanan dan minuman, dan tidak boleh masuk ke pasar Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi langsung rumah tangga, warung dan industri rumah tangga. Kenyataan di lapangan kita sering menjumpai gula rafinasi masuk ke ranah-ranah terlarang, kapan kita dapat lepas dari belenggu impor gula ini?
Pijakan Industri Gula Aren, Belajar dari ”Oil Boom” dan Monokultur Sawit Indonesia pernah terjerumus dalam pola ekspor minyak mentah tanpa pernah mengembangkan industri pengolahan (refinery) di dalam negeri. Ada satu masa di mana minyak bumi menjadi primadona ekspor dan memberi penghasilan yang luar biasa besar bagi perekonomian kita. Namun, ketika masa keemasan sudah usai, di mana cadangan minyak mulai menipis dan harga mulai melambung, terasa betul kita adalah negara pengimpor minyak olahan. Saat ini hal yang sama akan terjadi jika kita sangat mengandalkan ekspor minyak sawit mentah (CPO), yang ditengarai dengan Pertama, nilai tambah bagi perekonomian sangat kecil, sehingga begitu CPO langka, maka kita akan membeli dengan sangat mahal barang-barang dan produk-produk turunan yang berbasis minyak sawit. Kedua, nilai tambah yang dihasilkan hanya terbatas pada sekelompok tertentu yang memiliki akses langsung pada budidaya kelapa sawit, terutama para pengusaha kelapa sawit, sedang kelompok masyarakat yang lain tidak mendapat manfaat secara signifikan. Bahkan pajak yang dibayarkan oleh pengusaha kelapa sawit termasuk dalam pajak ekspor sekalipun, tidak akan berarti banyak bagi pembangunan secara keseluruhan. Terlebih lagi apabila dampak lingkungan yang diakibatkan oleh keberadaan perkebunan sawit tak lagi bisa dikompensasi dengan penerimaan pemerintah dari pajak. Kelapa sawit akan menimbulkan dampak lingkungan secara signifikan, jadi perlu biaya mahal untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Pengembangan Aren Terpadu idealnya dapat menimba pengalaman duo bom minyak tersebut baik minyak fosil maupun minyak sawit, sehingga model pengembangannya dapat memberikan nilai tambah yang lebih banyak bagi masyarakat ‘pemangku’ pohon aren sendiri dan beberapa pihak yang ikut mendukungnya. Peran pabrik gula aren, koperasi nira aren dan kelompok petani aren setara sehingga akses dan kontrol terhadap produk-produknya dikelola secara transparan dan saling menguntungkan. Tak ada satu pun pihak yang ‘mendominasi’ atau paling istimewa dalam pengelolaan, budidaya, perdagangan, maupun transaksi di dalam pengembangan aren terpadu.
Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang sangat kaya. Masalahnya adalah ada kecenderungan “cara mengelola”-nya salah. Akibatnya, meskipun terjadi peningkatan kegiatan ekonomi, namun tidak semua lapisan masyarakat mampu memiliki akses untuk menikmatinya. Tuduhan yang lebih lugas, sumber daya alam telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para industrialis demi kesejahteraan sekelompok orang saja. Sementara amanat UUD 1945 menegaskan bahwa kekayaan tersebut harus dimanfaatkan demi kemakmuran seluruh bangsa. Meski potensi pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi sesungguhnya yang tumbuh adalah sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja, seperti sektor jasa, perdagangan dan keuangan (non-tradable). Jika yang tumbuh sektor ini maka sumbangan bagi nilai tambah perekonomian akan cenderung terbatas, termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja dan kontribusi ekspor.
Sektor tradable adalah sektor yang memproduksi barang yang dapat diperdagangkan dan dalam prosesnya memerlukan input sumber daya lebih banyak termasuk tenaga kerja, misalnya pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan manufaktur. Kualitas pertumbuhan yang tidak signifikan, juga dapat dideteksi dari alokasi penyaluran kredit yang banyak mengucur pada sektor yang tidak banyak menyerap tenaga kerja (non-tradable), seperti aktivitas konsumsi bukan pada investasi atau bukan dalam rangka memproduksi barang dan jasa. Jurang kesenjangan sosial atau ketimpangan di tengah masyarakat maupun antardaerah juga semakin menganga atau dalam. Hal ini menjadi penanda buruk, bahwa desentralisasi belum bekerja dengan baik, otonomi belum memberikan pemerataan kesejahteraan kepada masyarakat yang tinggal di daerah. Agaknya ada keengganan mengembangkan daerah sendiri atau belum mencoba terkadang sudah merasa sulit dengan berbagai alasan yang dibuat sendiri.
Pengembangan pohon industri aren ditujukan untuk menyejahterakan individu petani aren dan keluarganya, serta menyelamatkan ekosistem kawasan sebagai ruang tempat kita tinggal dan habitat bagi makhluk hidup yang lain. Input bahan baku dari aren yang berkualitas dan teknologi mutakhir seyogyanya dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, menambah jaminan mutu produk-produk turunannya dan juga kapasitas volumenya. Industri Aren? Apakah ini realistis? Adakah bukti-bukti empiris yang dapat menjadi dasar landasan kebijakan pengembangan di daerah? Apakah industri ini dapat menjadi ”Growth Engine” pendapatan ekonomi daerah? Inilah beberapa pertanyaan yang akan mengundang para pemimpin daerah dari mulai lurah, kepala desa, camat hingga bupati ataupun walikota untuk menjawabnya.
Jika mengamati perjalanan Yayasan Masarang dan melihat langsung di lapangan, tentu kita akan membuktikan sendiri bahwa pola pengembangan aren ini mampu membangkitkan semangat batifar, menumbuhkan rasa bangga menjadi pengehet dan menggerakkan roda ekonomi para penyadap aren, dengan output produk berupa gula cetak dan gula kristal yang dapat dijual baik untuk kebutuhan domestik maupun pemenuhan permintaan ekspor. Justru sekarang sejauh mana kepedulian para pemimpin daerah dalam mendukung kinerja pengembangan aren terpadu tersebut? Adakah insentif yang diberikan? Membangun pertanian agribisnis aren baik di perdesaan atau perkotaan pada dasarnya mengembangkan upaya kelembagaan (institutional building). Institusi atau kelembagaan adalah suatu aturan dan peran yang berpijak pada nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Hal ini jadi syarat keharusan sebagai ’entry point’ dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan dan berkeadilan. Secara operasional, sosok koperasi agribisnis dan koperasi milik masyarakat, petani atau nelayan semacam Badan Usaha Milik Petani/Nelayan atau Badan Usaha Milik Desa dipandang sebagai bangunan kelembagaan yang mampu berperan dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagaimana yang divisikan.
Mewujudkan upaya di atas tidaklah mudah dan sederhana. Karakteristik, keunikan dan keragaman yang tinggi pada berbagai kegiatan agribisnis di satu pihak, serta dinamika permintaan dan konsumsi yang sangat tinggi memerlukan manajemen pengelolaan yang terpadu. Kunci utamanya yaitu bagaimana kita dapat memanfaatkan segenap modal sosial yang ada di masyarakat, yang terletak pada kualitas sumber daya manusianya. Yang terpenting adalah bagaimana membangun SDM yang ada, dengan berbagai latar belakang dan kualitas yang berbeda-beda menjadi suatu team work yang harmonis. Banyak persoalan inefisiensi kelembagaan yang disebabkan oleh ketidak-harmonisan SDM yang terlibat di dalamnya. Apakah gula aren mampu memenuhi target kebutuhan konsumsi gula kristal masyarakat? Apakah produk gula aren lebih unggul dibanding gula tebu baik dari segi kualitas mutu dan harga? Seberapa banyak penyerapan tenaga kerja jika dua industri ini secara intensif berjalan dan mana yang lebih ramah lingkungan?
Ketepatan dalam memahami dan mendekati sosial budaya masyarakat yang beragam serta berbeda karakteristiknya menjadi kunci keberhasilan program pengembangan aren terpadu. Keberhasilan program aren terpadu mensyaratkan keterpaduan tiga tujuan yang berbeda, yaitu (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi modal (Profit), (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan (People), (3) tujuan lingkungan/ ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang dapat menjamin keberlanjutan bahan baku alam dan kelestariannya (Planet).