Selasa, 30 Juni 2020

FasterCapital's Women Round of Funding 2020

Press Release
https://fastercapital.com/entrepreneur/joinus.html?c=4267 FOR IMMEDIATE RELEASE 1 p.m. CET, 11th, Jun, 2020 FasterCapital's Women Round of Funding 2020 Dubai, UAE, 11th, Jun, 2020
FasterCapital (an incubator based in Dubai, UAE) is launching its yearly women round on 16th, Jun, 2020. Last woman round has attracted more than 200 submissions from 50 different countries. This round is dedicated for any startup that has one woman cofounder. You can apply regardless of the stage of the startup.
If you only have an idea and have or have not created your business plan yet, we can help you by creating/improving your business plan, creating a product, and investing 50% of the money you need to raise for technical development purposes. These services can be offered through our Idea to Product program.
If you have a business already and you need a technical team for technical development purposes, FasterCapital will be glad to join you as a technical co-founder who will develop/create your product and invest 50% of the money you need to raise for that purpose. If you have a product in place and you need to internationalize it, explore new markets, and improve your sales, you can join our Grow your Startup program.
FasterCapital is an incubator based in Dubai Internet City, UAE. It was officially launched in 2015. FasterCapital has currently more than 24 graduated startups, 116 startups in incubation program, 281 startups in the acceleration program plus more than 982 representatives and regional partners and 500 offices worldwide. FasterCapital’s model is explained in more than 17 different languages as videos. FasterCapital has invested more than 16.9 million USD since its creation in 2010. FasterCapital has also more than 989 mentors in its network.
FasterCapital has more than 200 internal developers with different skillsets who are already working on multiple projects. FasterCapital’s women’s round of funding will open on 16th June, 2020 and you can apply easily here. You can send us an email directly to Ms. Widad.Sadeq(at)FasterCapital.com
Contact info Name: Mr. Faisal Khamees , VP of Operations at FasterCapital https://fastercapital.com/entrepreneur/joinus.html?c=4267

Jumat, 01 Juni 2012

Sekilas Kayu Jabon dan Sengon

PROFIT Jabon dan Sengon Cukup Hingga Anak Cucu
Kayu Jabon adalah jenis pohon cahaya (light-demandera) yang sangat cepat tumbuh. Dialam bebas pernah ditemukan tinggi pohon mencapai 45 m dengan panjang batang bebas cabang 30 m, diameter sampai 100 cm. Batang lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,50 m, kulit luar berwarna kelabu coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal, bentuk tajuk seperti payung dengan sistim percabangan melingkar, daun relatif tidak lebat. Sifat batang pohon Jabon sangat menguntungkan dalam pemeliharaan karena tidak membutuhkan pemangkasan dan batangnya mulus tidak bermata. Kecepatan pertumbuhan membesar dan meninggi luar biasa dibandingkan dengan tanaman kayu yang pernah dikenal. Dalam waktu umur 6 tahun telah dapat tumbuh dengan diameter batang antara 40-50 cm dan ketinggian batang mencapai 12 meter sehingga sudah mempunyai nilai ekonomis dibandingkan dengan jenis kayu komersial yang lain. Pohon Jabon berbuah setiap tahun pada bulan Juni-Agustus. Buahnya merupakan buah majemuk berbentuk bulat dan lunak, mengandung biji yang sangat kecil. Jumlah biji kering udara 18-26 juta butir/Kg, jumlah buah 33 butir per kg atau 320 butir/ kaleng minyak tanah. Buah yang berukuran sedang dapat menghasilkan sekitar 8.300 pohon. Biji yang telah dikeringkan dan disimpan pada tempat yang tertutup rapat dalam ruang yang sejuk dapat tahan selama 1 tahun. Tempat tumbuh
Tumbuh pada tanah alluvial lembab dipinggir sungai dan di daerah peralihan antara tanah rawa dan tanah kering yang kadang-kadang digenangi air. Selain itu dapat juga tumbuh dengan baik pada tanah liat, tanah lempung podzolik cokelat, tanah tuf halus atau tanah lempung berbatu yang tidak sarang. Kayu Jabon dapat tumbuh baik di dataran rendah sampai ketinggian 1.300 m dpl, memerlukan iklim basah dan mengalami gugur daun pada bulan kering dengan tipe curah hujan A, B dan C. Jabon sanggup bersaing dengan gulma karena pertumbuhannya yang sangat cepat menaungi pesaingnya, sehingga sangat sesuai untuk tanaman penghijauan (reboisasi). Dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim, dan dapat dipertahankan sampai seluruh permukaan areal ternaungi. Sifat ini sangat menguntungkan dan dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi tradisi ladang berpindah yang menjadi kebiasaan masyarakat sekitar hutan. Tanaman Jabon secara alami dapat dijumpai di Kalimantan, Papua, Sumatera, Jawa, dan Sumbawa, juga terdapat dibeberapa negara al : di India, Banglades, Srilangka, Miyanmar, Philipina dan Papua Nugini. Ciri Umum kayu Jabon – Warna kayu krem kekuningan sampai sawo kemerahan. – Tekstur kayu halus tidak bermata sampai agak kasar dengan arah serat lurus, kadang-kadang agak berpadu. – Kesan raba permukaan kayu licin atau agak licin dengan permukaan kayu jelas mengkilap atau agak mengkilap. – Kelas keras II dengan tingkat kekerasan sedang (Moderateli Hard and Heavy), kelas awet V dengan Spesific Gravity 0,40 dan Calorific Value 4.800 calory. Kegunaan kayu Jabon Kegunaan kayu sebagai bahan bangunan non konstruksi, mebel, bahan plywood (kayu lapis). Di India dan Banglades kulit dan bunga tanaman Jabon digunakan sebagai obat tradisional, dan berdasarkan hasil penelitian laboratorium Treug, Puslitbang Biologi–LIPI, dilaporkan kulit dan bunganya mengandung Alkaloida Antosephalus Base. Dengan dapat digunakan sebagai bahan bangunan untuk kebutuhan perumahan dan perabot keperluan rumah tangga, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan kayunya tanpa harus mengambil kayu ke hutan alam. Saat ini dengan ketatnya pelarangan Ilegal Logging, untuk memenuhi kebutuhan kayu yang sangat mahal dan langka dipasaran, masyarakat menebangi pohon buah-buahan seperti durian, manggis, kelapa. Apabila hal itu terus menerus dibiarkan berlanjut maka akan habislah seluruh tanaman buah-buahan yang ada sehingga suatu saat nanti untuk memenuhi kebutuhan buah-buahan harus mengimpor dari luar negeri. Pada akhirnya bila pohon buah-buahan masyarakat sudah habis masyarakat akan kembali merambah hutan, karena kebutuhan kayu pada dasarnya tidak dapat dicegah. Atas dasar pemikiran tersebut, dengan keunggulan-keunggulan yang dipunyai kayu Jabon, maka perlu menggalakkan masyarakat untuk menanam kayu Jabon, yang mana hal tersebut merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kebutuhan kayu secara lestari, dan diharapkan nantinya masyarakat akan melakukan penanaman kayu secara spontan dan mandiri. Dari percobaan penanaman di Kalimantan Selatan, tanaman Jabon yang ditanam pada tanggal 14 Maret 2004 diperoleh data sebagai berikut :
Pohon Umur 6 Bulan Umur 12 Bulan Umur 20 Bulan Umur 24 Bulan Diameter Tinggi Diameter Tinggi Diameter Tinggi Diameter Tinggi (cm) (m) (cm) (m) (cm) (m) (cm) (m) 1 5,09 2,30 10,50 5,60 15,92 10,00 17,00 12,00 2 5,73 2,71 12,73 6,25 16,56 11,65 18,00 12,00 3 5,73 2,45 11,14 5,60 14,65 10,70 15,00 12,00 4 5,09 2,37 11,45 6,05 16,56 11,08 18,00 12,00 5 4,35 2,11 11,14 5,40 15,92 10,55 18,50 12,00 6 3,18 1,47 9,55 4,80 13,38 8,92 14,50 12,00 7 5,09 2,67 11,14 6,15 14,65 10,55 15,00 12,00 8 5,73 3,44 12,73 6,20 15,29 10,70 17,00 12,00 Rerata 5,02 2,46 11,31 5,76 15,29 10,36 16,56 12,00 Analisa Usaha Kayu Jabon a. Persiapan Lahan dan Penanaman per Hektar Biaya persiapan lahan dan penanaman per hektar dengan populasi standar 800 pohon per hektar sebesar Rp 6.115.500. b. Pemeliharaan Tanaman Selama 6 Tahun Biaya pemeliharaan tanaman selama 6 tahun per hektar dengan populasi standar 800 pohon per hektar sebesar Rp 12.423.150. c. Produksi Kayu Glondongan (Log) Populasi awal = 800 pohon Pohon layak tebang (80%) = 640 pohon Diameter batang rata-rata = 40 cm Panjang batang efektif = 10 meter Produksi kayu Log per pohon = 0,5 m3 Produksi per hektar = 320 m3 d. Laba / Rugi per ha Biaya persiapan penanaman = Rp 6.115.500 Biaya pemeliharaan selama 6 tahun = Rp 12.423.150 Biaya tebang dan angkut (320 m3 x Rp 100.000/m3) = Rp 32.000.000 Jumlah Biaya = Rp 50.538.650 Pendapatan/ha/6 tahun = 320 m3 X Rp 962.000/m3 = Rp 307.840.000 Laba/Rugi/ha/6 tahun = Rp 307.840.000 – Rp 50.538.650 = Rp 257.301.350 Laba/ha/tahun = Rp 42.883.558
Pohon sengon dapat mencapai tinggi 30–45 meter dengan diameter batang 70–80 cm. Tajuk sengon berbentuk seperti payung dengan daun yang tidak terlalu lebat, daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dan mudah rontok. Daun sengon sebagaimana famili Mimosaceae lainnya merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein tinggi. Pohon sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus kedalam tanah, akar rambut banyak mengandung bintil akar berfungsi untuk menyimpan zat nitrogen sebagai hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Keberadaan bintil akar membantu porositas tanah dan penyediaan unsur nitrogen dalam tanah. Bunga tersusun dalam bentuk malai berukuran (0,5–1) cm, berwarna putih kekuningan dan sedikit berbulu terdiri dari bunga jantan dan betina, cara penyerbukan oleh angin dan serangga. Buah berbentuk polong, pipih, panjang (6–12) cm, setiap polong berisi (15–30) biji. Biji berbentuk mirip perisai kecil (3–4) x (6–7) mm, berwarna hijau, bagian tengah coklat jika sudah tua biji berwarna coklat kehitaman, agak keras, dan berlilin. Jumlah biji 40.000 butir/kg, daya kecambah rata-rata 80%, berat 1.000 butir 16–26 gram. Tempat Tumbuh Sengon tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol tekstur lempung berpasir atau lempung berdebu, pH tanah (6-7). Ketinggian tempat optimal (0–800) m dpl dan masih tumbuh baik sampai 1.500 m dpl, termasuk jenis tanaman tropis dengan suhu (18–27) °C, curah hujan tahunan (2.000–4.000) mm dengan kelembaban (50-75)%. Kegunaan Kayu Sengon Berat jenis kayu sengon 0,33 dan termasuk kelas awet IV – V. Kayu sengon merupakan kayu serba guna untuk konstruksi ringan bangunan rumah, forniture, papan peti kemas, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan lain-lainnya. Dengan sifat-sifat kelebihan yang dimiliki sengon, maka banyak pohon sengon ditanam ditepi kawasan yang mudah terkena erosi dan menjadi salah satu kebijakan pemerintah melalui Dephutbun untuk menggalakan ‘Sengonisasi’ Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jawa, Bali dan Sumatra. Di Ambon kulit batang digunakan untuk penyamak jaring, kadang-kadang sebagai pengganti sabun. Ditanam sebagai pohon pelindung, tanaman hias, reboisasi dan penghijauan.
Analisa Usana Kayu Sengon a. Persiapan Lahan dan Penanaman per Hektar Biaya persiapan lahan dan penanaman per hektar dengan populasi standar 800 pohon per hektar sebesar Rp 4.315.500. b. Pemeliharaan Tanaman Selama 6 Tahun Biaya pemeliharaan tanaman selama 6 tahun per hektar dengan populasi standar 800 pohon per hektar sebesar Rp 10.886.400. c. Produksi Kayu Glondongan (Log) Populasi awal = 800 pohon Pohon layak tebang (80%) = 640 pohon Diameter batang rata-rata = 30 cm Panjang batang efektif = 7 meter Produksi kayu Log per pohon = 0,33 m3 Produksi per hektar = 211 m3 d. Laba / Rugi Biaya persiapan penanaman/ha = Rp 4.315.500/ha Biaya pemeliharaan selama 6 tahun = Rp 10.886.400/ha Biaya tebang & angkut (211 m3 x Rp 100.000/m3) = Rp 21.100.000/ha Jumlah Biaya = Rp 36.301.900/ha Pendapatan/ha/6 tahun = 211 m3 X Rp 853.000/m3 = Rp 179.983.000/ha Laba/Rugi/ha/6 tahun = Rp 179.983.000 – Rp 36.301.900 = Rp 143.681.100/ha Laba//ha/tahun = Rp 23.946.850 http://jualbibitkayu.wordpress.com/

Changing Micro and Small Enterprise in Urban and Rural Areas through Tanggung Renteng Ethos (Cultural Wisdom) in Indonesia

Changing Micro and Small Enterprise in Urban and Rural Areas through Tanggung Renteng Ethos (Cultural Wisdom) in Indonesia by Daru Indriyo
The most fundamental fact of life in our world today is change. As a rule, people are reluctant to change. We resist it. It has to do with staying in our comfort zone, which is part of human nature. Throughout human history, as changes have come to light, people have run around blowing out candles and throwing the switches, demanding continued darkness. In almost every field of endeavor --- the arts, sciences, medicine, business --- most new ideas have always met with resistance and rejection at first. And the more unique and revolutionay idea, the more sweeping and vast the change, the louder and stronger people’s opposition to it. If we look our natural resources especially the speed of destruction of forest, degradation of land, deterioration of ocean, even natural disaster, we’re frustated. We’re more than frustated, we’re angry! We feel powerless to change the way things are. Don’t you dare let anybody take your dreams away! We’re not cowards. We’re victims of a crime. The crime of the appetite for natural destruction, so they stole our Dream. We truly believe that each and every one of us has an inner fire, a basic survival instinct to fight back when the chips are down. We are ready and willing to work, no doubt about it. What we need is a vehicle to help us get back our Dreams.
Protected areas perform many functions. They deliver essential ecosystem services, such as protecting watersheds and soils, reducing CO2 levels and shileding human communities from natural disasters. Many protected areas are important to local communities, especially indigenous peoples who depend for their survival on a sustainable supply of resources from them. Protected areas everywhere are exposed to threats such as pollution and climate change, irresponsible tourism, infrastructure development and ever-increasing demand for land and water resources. Managers these places face a host of challenges. Resource economic analysis, which can describe direct and indirect benefits of conservation area, is one of the strong instruments that can be used to deal with the “other” group. The conservation- supporting group should be able to sell the economic and social argument to the decision-maker. In this case, it should be emphasised that public interest groups can play an important role in the process and bring about a more effective use of economic argument.
So we have primary tasks to ensure sustainable development in remote protected areas and to support the traditional economies of the regions indigenous peoples through the promotion of Non Timber Forest Product (NTFP) activities. We further advises and supports village organisations in establishing primary procesing units, adequate storage and packaging facilities and other infrastructural needs. NTFPs represent a direct and potentially positive connection between forest conservation and forest use. If farming communities living on the fringes of the forest also derive value from the sustainable of NTFPs, this offers them an incentive to protect the forest. NTFPs can help create or restore a positive interface betweeen agriculture and forest conservation. More particular assistance is required in the following fields: - removing legal obstacles which hinder local people who seek to manage and benefit from NTFPs - Technical and institutional strengthening (administration and marketing) - Sustainable extraction of NTFPs - Strengthening the position of women, notably who belongs to marginal groups - Information sharing and capacity building through exchange of experiences among local communities Technology is simply “a new and better way of doing something.” Technology is the engine of change that creates a new paradigm. And I believe that the best possible option available to conservation areas today is Tanggung Renteng Group System (TRGS). Tanggung Renteng Group System introduced by Center of Woman Cooperative East Java (Puskowanjati) a secondary cooperative that was born on March 1959 which consist of 20 woman primary cooperative, and then increase 46 woman primary cooperative (48.000 member). The developing system is step by step, firstly from tanggung menanggung term of resposibility between each member in the group of arisan (regular social gathering whose members contribute to and take turns at winning an aggregate sum of money), and then secondly tanggung renteng term of responsibility each member in the group of woman cooperative (regular social gathering whose members contribute to learn about cooperative, saving and loan the money, and making solidarity and also new culture/civilization).
In the manual book of TRGS, it is already admitted that "the method to stimulate borrowers to show an active interest in their groups and also their institution by financial participation and interest income has to be regarded as having failed and that any feeling of co-responsibility for the operations is missing among the members, that every member will remain dependent upon the group managers and a controlling and leading cooperative institution". The TRGS mainly supplied short-term and small loans to households and micro-entrepreneurs, either for productive or consumption purposes, with daily, twice a week, weekly or twice a month repayments depend on their business. They were typical micro-finance institutions. It was believed that this would contribute towards structural changes in the financial system, thus forming a more solid basis for substantial and sustained micro and small enterprise development.
forestPRENEUR inc tried to adopt the local wisdom mechanism to enhancing livelihood and surviving in the extreme climate change. forestPRENEUR assist cooperative groups and their member are sponsored by Ministry of Cooperative and Small Medium Enterprise and Puskowanjati, and tend to focus on skills training and financial support. One example of a financial support program is the concept of the revolving loan. The Group of Tanggung Renteng notes that more than 30 revolving-loan funds, created by Ministry, Puskowanjati, and forestPRENEUR, operate in urban and rural areas in Indonesia. The year 2005, these loans tend to be $30,000 divided by 33 groups and are payable in 6 months. If the group success, it will be increase two times for the next period time of revolving-loan fund. The loans are administered under the auspices of tanggung renteng group system, many of them rural citizens themselves, who are committed to the goal of generating more jobs in rural areas. Fund managers from local cooperative institution "carefully (screen) prospective group borrowers and closely (advise) them about their business" to help ensure their success.

Fencing Capital Through Embracing Social Change

We are all angels with only one wing. We can only fly while embracing each other. – Luciano Crescenzo By DaRu indriYo
Globalization in business, new or old thing? One mother Earth, facing global village citizen. Everybody in this world was connected, no place to be alienated. Globalization has made its way from somewhere inside the academy to circulate in the public realm of commentaries, newspaper reports, TV, political speeches and public discussions. Globalization has become one of the most powerful and persuasive ideas to have captured the collective imagination, sometimes as dream and sometimes as nightmare. Asia’s companies against Europe and America companies? The reason is that for Western economies as a whole, and huge numbers of Western companies and their workers, the rise in Asia of the biggest middle class in history offers unprecedented money making opportunities. Asia’s relatively cheap but often well educated workforce continues to provide Western, Japanese and better-off Asian firms with an attractive place to set up factories producing goods for sale in the rich world. Asia increasingly offers something more tempting, the world’s fastest growing and often the biggest markets for the rich world’s own products and services. Culturally, Companies in Western countries have rooted in philantrophy tradition as social solidarity, so undoubtedly corporate social responsibility (CSR) was literally thrust upon them. Another opinion, CSR is beginning to be a influencing factor in consumer behavior in Europe. Especially, around 75% of consumers believe environmental issues and employee treatment to be key areas that demonstrated good corporate governance (GCG). Almost 35% consumers said that a company's commitment to social responsibility would affect their decision to buy its products. A solid social responsibility program companies can have some influence, and it need a long process that required knowing exactly what you want, and also communicating it clearly. Then there is auditing, best practices education, rewarding compliance and ensuring that variances from the standard are not ignored. Flexibility is important, it’s a highly collaborative process. When the American Management Association commissioned its survey linking ethics to business success, it found that the top driver of unethical behavior was the pressure to meet unrealistic business objectives. That pressure, in turn, contributed to many other problems, such as poorer quality, more accidents and increased overtime. GCG presents to avoid its problem, through 4 principles i.e. responsibility, fairness, transparency, and accountability. According to Morris, one of the first steps in crafting a successful CSR plan is defining what good looks like. Key elements are designing upstream business processes that support good working conditions and efficient product flow. It is also important to clearly define the rules and hold Nike employees accountable for compliance with Nike principles. This includes supporting sustainable business practices, encouraging suppliers to invest in worker training and by sharing best practices and the results other Nike suppliers have seen when they implemented some of those practices in their own facilities. Nike also employs suppliers human resources department as a strategic partner. Nike and its suppliers, Van Heerden advises suppliers to work smarter, not harder, and for buyers to add incentives to finish work on time, thereby increasing productivity and maximizing income. As the first world countries become increasingly aware of working conditions throughout the world, CSR has become increasingly important to publicity and to the bottom line. Nike has become a business ambassador, teaching suppliers that regardless of their location or local operating environment it makes good business sense to treat their workers fairly. Suppliers, for their part, increasingly understand that the benefits of ethical practices can enhance their own bottom lines, through expanded markets, better quality, more business and increased revenues. Increased innovation through freedom of association, plus a more prosperous workforce and a more robust local economy are icing on the cake. By working with its suppliers rather than dictating to them, Nike really is changing the world. CSR supported the internal corporate welfare, business sustainability and making corporate as global citizen. Holistic CSR required employee welfare, product accountability, and external community welfare services. So CSR made company reputation and branded in the heart of consumers. Regarding Fombrun and Van Riel, reputation consist of vision and leadership, working environment, socially responsible, performance, emotional appeal, product and services.
From an individual street hawker to a complex multinational enterprise, every business entity has its stakeholders and its impacts on society, both positive and negative. The concept of CSR, broadly defined as the overall contribution of a business to sustainable development (SD), should therefore be equally valid for large and small enterprises. But when CSR is discussed in policy circles, academia, the media, and wider civil society, the focus tends to be on the largest companies such as multinational (MNC) and transnational (TNC). Small- and medium-sized enterprises (SMEs) are often overlooked. The CSR agenda has almost entirely focused on large enterprises. The tools, frameworks and justifications for responsible business activity tend to cater for large companies, particularly those that can benefit from investing in measures that reduce reputational risk. Where it does touch on small- and medium-sized enterprises (SMEs), this is usually in a reactive or indirect sense, either as suppliers to larger companies, or as the beneficiaries of larger companies’ philanthropic initiatives. CSR discourse has frequently identified the challenge of making the CSR agenda more relevant for SMEs. For example, the World Bank Institute ran an e-conference in early 2004 on “the possibilities and challenges of CSR among SMEs”. One of four themes within the recent EU Multi-Stakeholder Forum on CSR is ‘fostering CSR amongst SMEs’. There has also been a specific focus on the implications of the CSR agenda for SMEs in developing countries. This mechanism means that the nature of trading relationships between SMEs and buyers, and how market power is exercised within such relationships, are central to the CSR agenda. This leads to one of the most challenging critiques of the current CSR agenda – that such supply chain standards can exclude SMEs in developing countries from lucrative markets. Indeed, surveys suggest that the most likely reason for SMEs to introduce an environmental management system is “when it becomes essential to secure and retain business”, either with local or international clients. In this sense, the notion of such standards as ‘voluntary’ can be misleading. It may more appropriate to consider them as ‘market entry requirements’ or ‘economic imperatives’. In pragmatic terms, it is clear that SMEs as they stand are a major economic force, upon which large numbers of people in developing countries depend for their livelihoods. At the very least then, CSR practices should be shaped in a way that does not adversely affect the economic viability of SMEs in developing countries. One of the most challenging critiques of CSR tools, particularly codes of conduct and supply chain standards, is that they can exclude SMEs in developing countries from lucrative markets, thus harming livelihoods.
Every company need a Corporate Business Process, i.e. Objectives, Business Strategy, Key, Success Factor, Balance Score Card, Cause Effect Diagram, Key Performance Indicator, Business Monitoring and Media for Communication. Good corporate governance has proved lacking in other Asian countries since the crisis in 1997. Economic reform, corporate and financial restructuring have been urged, cajoled and demanded by major international lenders and probably, too, to avert the next financial crisis. Real economics fundamental layed in economics strength of countryside relying on farmer economics and fisherman. The soul of co-operative has proven that 99,9 % of 42 million business units in Indonesia are micro and small enterprises (around 12 million are market merchants), 99,5 % opportunity of job provided by Micro Small Medium and Cooperative (SMESCo), 57 % requirement of goods and services provided by SMESCo, 19% export is SMESCo’s product has given contribution 2 - 4 % to national growth. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), a coalition of 170 international companies, currently runs a project entitled ‘Sustainable Livelihoods’. This is based on the observation that “the poor crucially lack two things: 1) the opportunity to earn a better living and thereby increase their purchasing power, and 2) a tailored supply of products and services that adequately respond to their needs and that are appropriate in their design and price”. The project “seeks ways by which business can extend the benefits of the market to serve people, address their needs and allow companies to develop their business sustainably and profitably”. The subtitle of a recent output from the project is “Learning Journeys of Leading Companies on the Road to Sustainable Livelihoods Business”. Leading Indonesia Companies have best practices in CSR, for instance Astra’s pioneering to embrace small industries to support its assembly line. Danamon Peduli made a campaign to co-opt workers in the clean up of more than 600 wet markets across the country. Exxonmobil provided health-care efforts in villages around its Aceh natural gas facilities. Sampoerna Foundation spends about $20 million a year on education. Raja Garuda Mas which operated in pulp and paper and covered million hectare plantation area,concern on fire fighting, an integrated farming scheme, fibre farms, and also environment protection. Mandiri Bank and Shell inc. have sticking to spread ”start up business” virus for young and new entrepreneurs. There is a need to develop more comprehensive business support services on CSR for SMEs. There are already well-established structures providing business development support that target SMEs, but few of these seek to integrate social or environmental issues into their activities. There is significant potential to do so, by taking insights from the CSR agenda into the enterprise development field. There is also a need for stronger involvement of business representative organisations such as chambers of commerce (KADIN, APINDO, HIPMI, Cooperative and Business Association) in CSR advocacy and awareness raising, and in providing CSR implementation support to their SME members. Any public or private support measures must take account of the national or sectoral context, and be clear about the preconditions for successful implementation. Integrating CSR into existing enterprise development and business support services for SMEs should be able to implement in each large companies. It’s not just arm twisting, these reforms would help to strengthen the overall enabling environment for CSR among SMEs. They would build SMEs’ capacity to engage with CSR, but more importantly, they would help to create the drivers for SMEs’ engagement with CSR. If we could drive this ultimate goal, we can fly without wing. Definitely, I will encourage precisely that it must be done, and the company will flying to be a ”Guardian Angel”.

Senin, 19 Desember 2011

8 Perusahaan Nasional yang Selama ini Kita Sangka Milik Asing

8 Perusahaan Nasional yang Selama ini Kita Sangka Milik Asing


Selama ini 'most of us' merasa sangat 'bangga', karena bisa membeli atau merasakan beberapa merk dagang yang secara sekilas sangat terasa "Amerika" atau luar negeri nya.

Padahal setelah membaca tulisan berikut, kita pun akan merasa lebih bangga lagi.
Mengapa? Ya... karena merk-merk tersebut berikut adalah 'Indonesian Global Brands'.
Dan berikut merk-merk yang sementara bisa dibahas :?

J.CO



Siapa tidak kenal J.Co? Gerai donat asli lokal yang selalu menamai produknya dengan nama eksentrik seperti Da Vin Cheez, MONA PIZA, Alcapone, atau Why nut. Ketika gerai J.co Donuts and Coffee pertama dibuka pada 26 Juli 2005, banyak yang menyangka bahwa gerai donat ini merupakan waralaba asing. Maklum, sebab saat itu toko donat yang memiliki konsep open kitchen belum ada di Indonesia.

Perkembangan J.co bisa dibilang sangat pesat. Dua tahun semenjak gerai pertamanya di Supermal Karawaci dibuka, J.co telah memiliki 24 gerai dan memiliki 2 gerai di luar negeri, satu di Malaysia dan lainnya di Singapura. Tahun ini diperkirakan gerai J.Co akan mencapai 100 gerai. Prestasi ini tak lepas dari peran besar pendiri J.Co, Johnny Andrean. Johnny adalah anak perantauan yang berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat. Orang tuanya adalah penjual hasil bumi dan pengelola salon. Johnny berangkat ke Jakarta pada tahun 80-an berbekal ilmu salon dari ibunya dan mampu bertahan hidup dengan mendirikan salon kecil di Jakarta Utara. Bisnis salonnya itu kemudian berkembang menjadi besar dan sangat terkenal. Selain salon, ia juga membeli izin waralaba BreadTalk dan mengembangkannya di Indonesia.

Suatu hari muncul ide untuk masuk ke bisnis donat. Johnny awalnya hendak menggunakan konsep yang sama dengan BreadTalk, di mana ia membeli hak waralaba dari luar negeri. Namun, donat yang hendak dibeli waralabanya itu ternyata memiliki banyak kelemahan mulai dari bahan baku hingga proses produksi yang kurang menjaga kualitas. Jhonny pun berusaha mengembangkan sendiri resep donatnya, dan sukses. Ia kemudian mengambil beberapa konsep penjualan donat di luar negeri; mencontoh Eropa untuk urusan penyajian, serta mencontoh jepang untuk urusan display.


Donat-donat buatan Johnny dibuat dengan menggunakan mesin modern, mulai dari adonan, cara memasak, hingga pengglasuran dan menutup permukaan donat dengan bahan-bahan yang menjadi ciri-ciri setiap jenis donatnya. Hampir separuh bahan baku diimpor, cokelat dari Belgia dan susu didatangkan dari Selandia baru. Biji kopi untuk minuman didatangkan dari Italia dan Kosta Rika.

Johnny juga mendatangkan spesialis-spesialis donat dan kopi untuk membuat menu baru, dan tak segan mengirimkan tim risetnya ke luar negeri untuk mempelajari resep-resep baru. Untuk pemasaran, Johnny lebih percaya pada kekuatan public relations daripada iklan-iklan mahal di televisi dan koran.



OLYMPIC


KISAH DAN PENJELASANNYA

Kisah sukses Au Bintoro, pendiri Olympic Furniture, diawali tahun 1980. Ketika itu ia merasa bahwa toko furniture terlalu membebani konsumennya dengan ongkos kirim yang begitu besar. Mahalnya ongkos kirim itu disebabkan karena beratnya produk furniture sehingga untuk mengangkatnya dibutuhkan beberapa orang pekerja, selain itu pengusaha furniture tidak dapat membawa banyak barang sekaligus—satu truk kecil hanya bisa mengangkut beberapa meja belajar saja—sehingga tidak efesien. Bayangkan bila meja-meja tersebut harus diantarkan ke alamat pelanggan yang berada di pelosok-pelosok daerah, bukan tidak mungkin ongkos kirimnya lebih mahal dari harga meja itu sendiri.


Au yang ketika itu masih berprofesi sebagai pembuat box speaker memutar keras otaknya agar bisa menemukan meja belajar yang lebih praktis, ringan, dan bisa diangkut dalam jumlah yang lebih banyak dalam satu truk. Au memiliki ide untuk membuat sebuah meja yang dapat dibongkar pasang. Dengan ide ini ia berharap pengangkutan meja jadi lebih mudah dan murah. Namun ia menemukan masalah, penggunaan kayu yang berat bobotnya menyebabkan timbul kesulitan membuat pasak-pasak yang cukup kuat untuk merekatkan bagian-bagian meja.

Ia kemudian mencoba-coba membuat meja dari bahan baku box speaker yang dimilikinya, dan ternyata sukses. Ia mampu menciptakan meja yang lebih kecil, ringan, dan mudah dibongar pasang. Meja belajar baru itu tersusun dari serpihan-serpihan papan partikel dengan perekat sekrup yang bisa di cucuk-cabut. Setiap bagian diberi tanda khusus untuk mencocokkannya dengan bagian lain. Ini mirip dengan mainan bongkar pasang anak-anak.

Produk ini selain mudah dibawa ternyata juga memberikan keuntungan lain bagi penjualnya, yaitu memperkecil biaya penggudangan (storage cost) karena penjual hanya perlu merakit satu produk saja sebagai display, sementara produk yang digudang dibiarkan dalam keadaan terbongkar sehingga tidak memakan banyak ruang.

Walau begitu Au belum memiliki cukup nyali untuk menjualnya secara massal, dan lebih memilih untuk menjualnya berdasarkan pesanan. Suatu hari seorang konsumen memesan meja itu dalam jumlah ribuan. Au girangnya bukan main. Setelah harga disepakati, pengerjaan meja itu dilakukan 24 jam nonstop agar selesai tepat waktu.

Namun malang di tengah jalan order itu diputus secara sepihak. Akibatnya Au terpaksa menumpuk produk dan bahan baku yang tersisa di gudang. Setelah menunggu tanpa kepastian, Au nekad menjual meja pesanana itu ke toko-toko furniture. Ternyata meja-meja itu laku keras dan habis terjual. Ini membuat Au semakin percaya bahwa konsumen telah lama menantikan sebuah meja belajar yang lebih praktis seperti buatannya. Pada tahun 1983, Au benar-benar menekuni bidang furniture dan meninggalkan profesinya sebagai pembuat box speaker. Setahun sebelumnya dia meresmikan sebuah pabrik Cahaya Sakti Multi Intraco yang khusus memproduksi meja (menyusul kemudian tempat tidur, meja serbaguna, lemari hias, lemari pakaian, rak televisi, meja kantor, dan hampir semua jenis furniture.

Au menamai merek produknya “Olympic Furniture” karena terinspirasi dengan Olimpiade XXIII yang berlangsung di Los Angeles pada 1984. Au mengutip ajang olahraga tersebut sebagai label dengan harapan Olympic dapat bergaung sehebat olimpiade yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Inspirasi ini dikemudian hari menguntungkan Au karena konsumen lokal mengenalinya sebagai produk impor meskipun sebenarnya serpihan-serpihan perabot itu semuanya dibuat di Bogor dengan tenaga kerja lokal.

Pada tahun 1997, seperti kebanyakan pengusaha lain, Au mengalami goncangan dahsyat akibat Krisis Moneter yang melanda Indonesia ketika itu. Ongkos pembelian bahan baku membengkak gila-gilaan dan karyawan menginginkan kenaikan gaji, sementara rata-rata 5 dari 10 konsumen membatalkan membelian. Bisnis Au mengalami masa-masa paling suram dan hampir semua rencana besar terbengkalai begitu saja. Gara-gara krisis pula Au terpaksa menjual separuh lahan beserta gedung di daerah Sentul Jawa Barat yang awalnya direncanakan sebagai pusat produksi terpadu, mulai dari pengolahan kayu hingga finishing.

Au mendapatkan ide lain untuk mengatasi masalah ini. Bila sebelumnya ia hanya mengandalkan toko-toko furniture untuk menjual produknya, kini ia bekerja sama dengan peritel besar seperti Carrefour dan Giant. Ia juga bekerjasama dengan gerai kredit Columbia agar konsumen lebih mudah mendapatkan dana untuk membeli produknya. Strategi ini berhasil mengembalikan penjualan Olympic ke tingkat semula, bahkan lebih.

Memasuki tahun 2003 ia menggandeng perusahan furniture asal Jerman, Garant Mobel International dan bersama-sama mendirikan Garant Mobel Indonesia (GMI) dengan 75% saham dimiliki Olympic. GMI bertindak sebagai pemberi hak waralaba yang menghubungkan pemasok dan para peritel mebel merek Garant asal Jerman, dan merek kelas atas milik Olympic. Usaha ini menciptakan merek baru MER yang diwaralabakan dengan biaya minimal Rp.500 juta beserta show room seluas 100 meter persegi. Kerja sama ini menjadikan Au sebagai peritel furniture pertama di Indonesia.

Au juga mulai mengibarkan merek-merek baru untuk menguasai pasar, misalnya Solid Furniture, Albatros, Procella, Olympia, dan furniture berharga murah Jaliteng. Diversifikasi produk itu dibuat berdasarkan daya beli target market-nya. Albartos misalnya mencoba menampilkan desain klasik dan minimalis yang disesuaikan dengan tren perkembangan desain rumah masyarakat kelas atas yang berselera ala Eropa dan Asia modern..


Hoka Hoka Bento


KISAH DAN PENJELASANNYA

Profil & Sejarah Hoka Hoka Bento

1985
Pada tanggal 18 April 1985, Hoka Hoka Bento pertama kali didirikan dibawah naungan PT. Eka Bogainti. Dengan restoran pertama berlokasi di Kebun Kacang, Jakarta. Hoka Hoka Bento menyajikan makanan jepang yang sehat, variatif, higienis, cepat saji dengan harga terjangkau serta suasana yang nyaman. Hal ini menjadikan Hoka Hoka Bento sebagai restoran dengan konsep “Japanese Fast Food” terbesar di Indonesia.

1990
Hoka Hoka Bento mengembangkan sayap ke Bandung dan sampai saat ini telah ada 12 store yang tersebar di seluruh kota Bandung.

2005
Hoka Hoka Bento membuka store pertama di Surabaya. Seiring dengan perjalanan waktu hingga saat ini sudah ada 10 store di Surabaya dan mulai tanggal 18 Juli 2008 Hoka Hoka Bento pertama dibuka di kota Malang.

2008
Tepatnya sampai dengan Juli 2008, selama kurun waktu 23 tahun, Hoka Hoka Bento telah tumbuh dan berkembang dengan menghadirkan 97 store yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Cilegon, Surabaya dan Malang. Kini, resto cepat saji yang membeli hak nama dari Jepang itu mempunyai 99 gerai dengan omzet sekitar Rp. 13,85 miliar /tahun.

Hendra sebagai pemilik PT Eka Bogainti tertarik mengembangkan resto cepat saji ala Jepang karena pada 1985 konsep itu belum ada di Indonesia. Ia pun melakukan studi banding ke Jepang dan kemudian membeli izin untuk menggunakan merek dan technical assistance Hoka Hoka Bento di Indonesia. Eka Bogainti memiliki penuh hak cipta atas merek merek Hoka Hoka Bento. Sementara itu, usaha serupa dengan merek sama yang ada di Jepang sudah tidak ada lagi.

Awalnya, Hoka Hoka Bento berbisnis makanan take away (pesan ambil/ bawa pulang). Konsep take away kemudian diubah menjadi fast food (cepat saji), mengadopsi tren cara makan yang praktis dan higienis ala Jepang.

Saat ini, Hoka Hoka Bento ditangani generasi kedua, anak dari Hendra Arifin yakni Paulus Arifin yang menjadi direktur operasional PT Eka Bogainti. Menurut Paulus, dampak krisis global membuat pengunjung resto sedikit berkurang sehingga ia menerapkan strategi khusus untuk menarik minat konsumen dengan berbagai menu spesial.

Selain itu, efisiensi terus dilakukan tanpa harus melakukan perampingan tenaga kerja. Kini, Hoka Hoka Bento mempekerjakan sekitar 4.000 tenaga kerja. Pengalaman saat krisis moneter 1998 menjadi pelajaran berharga bagi Hoka Hoka Bento sehingga tetap bertumbuh rata-rata 5-7% per tahun. “Tahun 2009, kami menargetkan pertumbuhan penjualan sekitar 10%, memang agak sulit tetapi kalau berusaha keras pasti bisa.

Meskipun 2009 dipenuhi ketidakpastian ekonomi, Hoka Hoka Bento berencana menambah satu gerai. “Untuk menggenapi jadi 100 gerai,” ungkap Hendra. Saat ini, 99 gerai Hoka Hoka Bento tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang (Jabodetabek), Bandung, Surabaya, dan Malang.

Ini salah satu gerai Hok Ben di Nagoya (tidak ada kesamaan logo dengan hok ben di Indonesia)
Paulus memaparkan, untuk membuka gerai baru seluas 150-200 meter persegi di mal kawasan Sudirman, Jakarta, dibutuhkan investasi hampir Rp 1 miliar. Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga melakukan revitalisasi fisik gerai serta memperkuat manajemen sumber daya manusia.

Untuk meningkatkan pelanggan, Hoka Hoka Bento mengembangkan bisnis pesan antar. Kontribusi penjualan antar-pesan kini mencapai 30-40% dari total penjualan. “Untuk layanan ini, konsumen dikenakan biaya Rp 5.000 per antar dan tidak ada batas minimum order.



CERES

KISAH DAN PENJELASANNYA

Kisah Ceres dimulai puluhan tahun lalu, saat tentara Jepang datang menduduki Indonesia di tahun 1942. Ketika itu ribuan orang Belanda yang tak mau ditawan Jepang lari tunggang langgang, tak terkecuali seorang Belanda pemilik pabrik cokelat bernama NV Ceres yang menjual pabriknya dengan diskon besar kepada MC Chuang, orang Indonesia keturunan Tionghoa.[1] Artikel ini menceritakan bagaimana Chuang dan keluarganya membangun sebuah pabrik cokelat rumahan menjadi perusahaan cokelat terbesar ketiga di dunia, dan terbesar di Asia.

Setelah Indonesia merdeka, Chuang mengganti nama NV Ceres menjadi Perusahaan Industri Ceres. Chuang cukup beruntung karena di awal usahanya, ia mendapatkan order besar saat konferensi Asia Afrika diadakan tahun 1955 di Bandung. Karena order ini pula ia memindahkan pabriknya dari Garut ke Bandung.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bahan racikan Chuang atau cara Chuang membuat cokelatnya,kecuali memainkan tempratur pada alat-alat pemanas cokelat. Ia membuat cokelat seperti kebanyakan pabrik ketika itu; berbahan dasar kakao, gula, dan susu. Namun cokelat itu terkenal lezat, bahkan konon saking lezatnya, Presiden Soekarno hanya mau memakan cokelat buatan Chuang. Konon, yang menjadi senjata rahasia Chuang dalam membuat cokelat adalah indra perasanya yang peka sehingga ia dapat mengetahui apakah cokelat produknya sudah dibuat dengan tepat atau belum.

Chuang juga termasuk orang yang cerdik. Kecerdikannya terlihat saat ia menciptakan cokelat batangan pertamanya pada tahun 1950-an, Silver Queen. Gagasan menjual cokelat dalam bentuk batangan sebetulnya merupakan hal mustahil ketika itu seab belum ada teknologi untuk membuatnya tidak meleleh ketika dipajang di toko karena iklim tropis Indonesia yang panas. Chuang tidak kekurangan akal, dia mencampur adonan cokelatnya dengan kacang mede yang membuat cokelat batangan seperti beton bertulang yang kuat dan pada akhirnya justru membuat Silver Queen unik. Tahun-tahun selanjutnya diisi Chuang dengan mengembangkan teknologi di pabriknya, ia berusaha mencari tahu cara-cara moderen membuat sebuah adonan cokelat yang sempurna.

Chuang memiliki cara yang unik dalam menciptakan varian-varian cokelat-cokelat baru. Dia tidak memanfaatkan liburan ke luar negeri hanya untuk berleha-leha, tetapi juga menyempatkan waktu berburu makanan-makanan berbahan cokelat di mana pun dia berada. Cokelat-cokelat itu diborong sebagai oleh-oleh, sebagian kemudian diserahkan pada bagian riset perusahaan untuk dibedah komposisinya. Dia melancong ke Amsterdam, Belanda, belajar ke pabrik cokelat Cj Van Houten yang sudah memproses kakao menjadi cokelat sejak 1828. Dia juga merayu manajemen Van Houten agar memberinya hak untuk menjual merek itu. Lobi ini sukses dan hasilnya bukan saja Ceres mendapatkan hak memasarkan Van Houten, melainkan juga ilmu dan teknologi mengenai pengolahan kakao menjadi cokelat lezat.

Ilmu-ilmu itulah yang kemudian dipakai untuk memperbaiki rasa Silver Queen, dan membuatnya semakin populer dari hari kehari. Selain Silver Queen Chuang juga mengembangkan berbagai merek lain seperti Ritz, Delfi, Chunky, wafer Briko, Top, dan biskuit Selamat. Tidak banyak yang diketahui tentang Chuang karena sifatnya yang tertutup, namun Chuang dikenal sangat akrab dengan para karawannya. Di tak segan-segan turun langsung ke pabrik dan berbincang di sana. Sikapnya ini lah yang membuat ia sangat dicintai oleh anak buahnya.

Sepeninggal Chuang, perusahaan dilanjutkan oleh ketiga anaknya John, Joseph, dan William Chuang. Ketiganya dikenal memiliki talenta yang sama dengan ayahnya dalam urusan cokelat. Joseph, sebelum dipanggil pulang keIndonesia, merupakan seorang pebisnis cokelat di Filipina. Ia mengembangkan jalur distribusi Ceres sampai ke pelosok tanah air, melengkapi armadanya dengan 500 truk berpendingin yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura. Ia juga mengakuisisi merek Hudson dan membeli merek Delfi dari Swiss pada tahun 2001.

John yang sebelumnya memiliki karir sebagai Vice Chairman Bank of California dan Presiden Wardley Development Inc., California membantu Ceres menguasai bisnis hulu kakao di level dunia–sekarang 70% pendapatan mereka berasal dari pengelolaan kakao. Cokelat memang sepertinya mengalir dalam darah mereka, ketika diwawancarai sebagai salah satu keluarga terkaya di Singapura, John berkata “Ketika bangun pagi, dalam benak saya hanya ada kakao; siang dan malam hari, cuma memikirkan kakao dan cokelat.” Distribusi, konsistensi membangun merek, dan upaya untuk fokus pada bisnis cokelat memang menjadi pilar sukses keluarga Chuang. Akan tetapi, nilai kekeluargaan yang dibangun dalam keluarga ini tak pelak juga menjadi pilar suksesnya.[2] Di keluarga Chuang, pemutusan hubungan kerja diharamkan terjadi. Salah satu filosofi M.C. Chuang adalah jangan pernah mengeluarkan karyawan kecuali karena dua hal :

mati dan mencuri. Jangan heran bila menjumpai karyawan yang puluhan tahun, sampai 40 tahun, bekerja di perusahaan ini. Atau yang seperti Udja, dipekerjakan kembali setelah pensiun. Kerja keras, loyalitas, kejujuran dan kekeluargaan menjadi values.

Dan nilai-nilai ini ditanamkan sejak M.C. Chuang merintis usaha dan memindahkan operasional Ceres dari Garut ke Bandung di 1950-an.[2]

Sayangnya Ceres kini sudah menjadi tamu di negerinya sendiri. Sejak krisis moneter tahun 1997, John dan adik-adiknya mengubah status Ceres di Indonesia menjadi perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan mengalihkan pusat usahanya ke Singapura. Mereka juga sudah tidak mengandalkan Indonesia lagi sebagai pengolahan kakao utama, setelah memiliki pabrik di Malaysia, Thailand, Brasil, Meksiko, dan Filipina.

WINGS


KISAH DAN PENJELASANNYA

WINGS Corporation didirikan pada tahun 1948 di Surabaya, Indonesia. Selama lima puluh tahun terakhir perusahaan ini telah berkembang dari sebuah industri rumah kecil menjadi pemimpin pasar (market leader) yang mempekerjakan ribuan orang dengan pabrik-pabrik berlokasi di Jakarta dan Surabaya.


Tujuan WINGS Corporation adalah memproduksi produk-produk berkualitas internasional dengan harga ekonomis. Produksi pertama Wings dimulai dengan pembuatan sabun cuci hijau buatan tangan. Dengan produk ini Wings berhasil menembus pasar kompetitif pada akhir 1940-an. Segera setelah itu, mereka memperkenalkan sebuah produk baru - krim deterjen yang sangat membantu kebutuhan toileteries rumah tangga. Seiring dengan perkembangan Wings yang begitu pesat, maka pabrik kedua P.T. Sayap Mas Utama, dibangun di Jakarta.

Wings menghasilkan produk antara lain toilet sabun, bedak dan bar deterjen, floorcleaners, pelembut kain, dan pembalut untuk market di seluruh Indonesia dan sekitarnya. Sedangkan pabrik ketiga P.T. Lionindo Jaya dibangun di Jakarta bersama-sama dengan Lion Corporation Jepang untuk memproduksi merek seperti Emeron, Halaman Satu, Ciptadent, dan Mama. Produk mereka termasuk shampoo, shower gel, produk perawatan kulit, pasta gigi, dan mencuci piring cair. Setelah lima tahun, merek ini berhasil menangkap pangsa pasar yang signifikan di Indonesia.

Kemudian Wings mengembangkan sayap usahanya secara vertikal dan horizontal, bahkan ke sektor lain seperti bahan bangunan. Dengan tetap berpijak pada filosofi "To produce Quality and Affordibility at the Convenience of our customers."

Sejak tahun 1948 Wings telah berproduksi meski sangat sederhana dengan menggunakan minyak kelapa untuk memproduksi sabun cuci, dan menjual dari pintu ke pintu. Selanjutnya WINGS menghasilkan ratusan produk pembersih rumah tangga, dari pasta gigi dan shampo, untuk deterjen dan pembersih porselen. Bukan itu saja mereka juga mempekerjakan ribuan orang di puluhan pabrik manufaktur dan pusat distribusi di seluruh Indonesia. Merek utama seperti Ekonomi, SoKlin, dan GIV dikenal sebagai produk yang sangat baik dan berkualitas.

Dengan kekuatan yang dimilikinya, WINGS mencoba berekspansi dengan mengekspor produk ke beberapa negara di dunia, dari Nigeria sampai Filipina. Wings telah berinvestasi baik integrasi hulu dan hilir. Sehingga memungkinkan bagi mereka menghasilkan secara konsisten produk-produk berkualitas dengan biaya lebih rendah berupa harga jual yang lebih rendah dibanding pesaingnya.

Keberhasilan Wings ini didukung oleh berbagai aspek diantaranya karyawan yang berdedikasi tinggi untuk menghasilkan produk berkualitas dan competitive bagi pelanggan. Dan Wings sendiri yang mampu mempertahankan kualitas sekaligus melakukan efisiensi sehingga saat krisis-pun justru dijadikan pelaung untuk meluncurkan produk seperti Daia yang dipatok dengan harga lebih rendah dari Rinso dan Soklin.

WINGS mendorong perekonomian bukan hanya nasional tapi internasional (khususnya Asia) melalui investasi dalam kapasitas tambahan, memperkenalkan produk-produk inovatif baru, mendorong proyek-proyek perbaikan seluruh organisasi, serta fokus pada human resource fokus kami HR. Sehingga pada akhirnya Wings dapat menjamin kesuksesan di milenium baru mendatang.

Periode sejarah Wings:
- 1948, Ferdinand Katuari dan Harjo Sutanto mendirikan Fa Wings, memproduksi sabun colek skala home industri, melalui sistem door to door. - 1950 sabun mandi Wings mulai dipasarkan. - 1971, membangun perusahaan sabun dan detergen, misal merek Ekonomi.

- 1980, merek Wings Biru dan Dangdut dilepas ke pasaran. Mendirikan PT Unggul Indah Cahaya, produsen alkybenzene, bahan baku produk detergen, bersama beberapa inverstor. - 1983 mendirikan PT Multipack

- 1986 mengembangkan PT Petrocentral (intregasi vertical horizontal)
- 1989, terjun kebisnis keramik; PT Adyabuana Persada, merek Milan dan Hercules. Dan dibidang finance; Bank Ekonomi. Aliansi dengan Lion Corporation mendirikan PT Lionindo Jaya.
- 1990, merek Extra Aktif dan detergen merek So Klin.
- 1991, Fa Wings berganti menjadi PT Wings Surya.
- 1995, membeli plantation PT Damit Mitra Sekawan dan PT Gawi Makmur Kalimantan, menghasilkan oleochemical. Bersama Siam Cement bisnis gypsum dan semen fiber melalui PT Siam-Indo Gypsum Industry (merek Elephant).
- 1998, meluncurkan Daia saat krismon.
- 2000, membeli saham Ecogreen Oleochemical melalui konsorsium
- 2001, mendirikan perusahaan sekuritas, EkoKapital
- 2002 merambah property; Pulogadung Trade Center, bersama Djarum.
- 2003, meluncurkan Mie Sedaap

- WINGS dikenal dari kualitas produk, harga terjangkau, dan dapat dibeli dimanapun berada (terdistribusi secara menyeluruh. Wings berfokus pada kepentingan customer, supplier, company, karyawan. - Wings fokus pada pengembangan sumber daya manusia. Menyadari bahwa orang-orang di Wings sangat penting bagi keberhasilannya. - Misi Wings; meningkatkan-cabang kedua - Tujuan: meningkatkan standar hidup dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan WINGS, hidup terus lebih baik!

NEXIAN


KISAH DAN PENJELASANNYA


Ketika hampir semua industri lokal di Indonesia kisruh atas realisasi perjanjian zona perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina (ACFTA), hanya perusahaan handphone lokal Indonesia, Nexian, yang tidak mau ambil pusing. Demikian pernyataan M. Syakur Usman juru bicara PT Metrotech Jaya Komunika kepada Majalah Globe Asia edisi Maret silam. Ya, perusahaan handset Nexian asal Indonesia seakan tidak terpengaruh dengan berbagai harga miring produk buatan Cina yang semakin membanjiri pasar pascapemberlakuan ACFTA.

Dalam pemberlakuan perjanjian sejak 1 Januari lalu mengenai penghapusan bea masuk, secara otomomatis membuat produk industri rumahan Cina mengancam eksistensi industri besar lokal. Terutama, bagi pengusaha yang selama ini menikmati berbagai jenis fasilitas dan proteksi dari pemerintah menjadi kelabakan.


Namun, menurut Presiden Direktur Metrotech Jaya Komunika, Martono Jaya Kusuma, dengan strategi menggandeng jaringan provider komunikasi terkenal seperti Telkomsel, XL, Esia dan Flexi, membuat Nexian menempati posisi kedua setelah Nokia di Indonesia.



Bahkan ketika, terjadi "demam" BlackBerry dengan percaya diri Nexian membuat terobosan produk NexianBerry dengan mengembangkan rumus "Qwerty Keypad". Qwerty keypad merupakan rumusan baku peletakan tombol huruf pada keyboard atau mesin tik.


Produk NexianBerry yang awalnya dipandang sebelah mata, berhasil mencapai prestasi penjualan tertinggi sejak diluncurkan Mei tahun lalu, yaitu sebanyak 1,8 juta unit sebulan atau hampir 21 hingga 22 juta unit setahun.

Bahkan berdasarkan data penjualan distributor besar di Jawa Barat, tahun lalu setiap bulannya produk Nexian diklaim terjual rata-rata sebanyak 120.000 unit lebih besar dibanding Nokia yang hanya mencapai 80.000. Martono Jaya Kusuma pun mengklaim, baru pertama kali begitu banyak konsumen menginginkan produk Nexian dengan pemesanan seperti halnya penjualan Nokia tipe E90, dua tahun lalu.

Semoga saja kelak Nexian mampu menembus pasar Cina, bahkan internasional. Membawa bendera bangsa Indonesia yang selama ini hanya dikenal sebagai penikmat produk asing.

Nexian adalah market leader di bidang penyedia perangkat telekomunikasi tetap (fixed) dan bergerak (mobile) di Indonesia sejak 2006.



Nexian merupakan pelopor ponsel lokal di Indonesia sehingga dinobatkan oleh para wartawan telekomunikasi dan memperoleh beberapa penghargaan seperti:



* ICA 2010 sebagai The Best Value Services for Nexian Messenger

* Seluler Award 2010 sebagai The Best Local Brand dan The Best Favourite Music Concept

* Golden Ring Award 2010 sebagai The Best Qwerty Local Brand 2010 (NX-G801), The Best Entry Level Phone 2010 (NX-G330 Dangdut POD) dan The Best Local Brand 2010.

* Golden Ring Award 2009 sebagai The Most Favorite Local Brand. * Dari majalah Forsel (Kompas Group) pada Desember 2008 product Nexian FP333 dinobatkan menjadi ponsel CDMA Favorit.

Mei 2010, Nexian memperoleh penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia sebagai telepon seluler pertama yang menjadi sarana peluncuran album musik (Grup Musik SLANK – Album Jurus Tandur no. 18). Hal tsb melengkapi eksistensi Nexian sebagai brand local pertama dan satu-satunya yang sempat memiliki instalasi pabrik perakitan di Indonesia membuat perusahaan ini mendapatkan penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai merek local yang berhasil memproduksi sekaligus menjual 100 ribu ponsel hanya dalam waktu 6 bulan.



Kehandalan kualitas produk-produknya, membuat Nexian dipercaya oleh berbagai operator telekomunikasi sebagai mitra penjualan produk bundling, yaitu dengan:



* ESIA (ponsel CDMA NX350, tahun 2006),

* Telkom Flexi (Flexi Home, tahun 2006),

* Fren (ponsel CDMA NX970, tahun 2007)

* Indosat StarOne (sebagai mitra tunggal program migrasi dari pita frekuensi 1900MHz ke 800 MHz, tahun 2007),

* XL (NX900 dan NX900 Pelangi, tahun 2009 serta NX G801 – G821, tahun 2010),

* Indosat (NX911 dan NX T911, tahun 2009 serta NX G501-T910, tahun 2010),

* Telkomsel (NX922, tahun 2009 dan NX G912-T901-G381i-G503, tahun 2010).

Sampai Maret 2010, ponsel Nexian telah digunakan oleh lebih dari 5.500.000 masyarakat Indonesia.

Saat ini, Nexian didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia melalui jaringan Selular Shop, Metroshop serta modern channel seperti Carefour, Giant, Hypermart dan lainnya.HYPERMART


KISAH DAN PENJELASANNYA


Matahari kembali menunjukkan taringnya dengan berekspansi di ritel hipermarket.
Pengusaha Mochtar Riady dan anaknya James T. Riady meresmikan toko ritel hipermarket baru dari grup PT Matahari Putra Prima (MPP), yang dibangun di atas tanah seluas 6.500 meter2. MPP yang dulunya bernama PT Matahari Departemen Store, sejak 1997 dibeli sahamnya oleh PT Multipolar, perusahaan di bawah kelompok Lippo.

Hingga 31 Desember 2003, PT Multipolar Corporation Tbk menguasai 43,9602 % saham MPP dan 6,2982% dikuasai oleh PT Lippo E-Net Tbk. Langkah MPP membuka Hypermart ini menjadi tonggak sejarah bagi Matahari Group masuk ke segmen baru ritel hipermarket, menyaingi toko ritel hipermarket yang sudah ada, seperti Carrefour dan Giant.

Selama lebih dari 50 tahun, Matahari sukses mengembangkan Matahari Department Store, Matahari Supermarket dan yang terakhir Matahari Market Place, yang merupakan supermarket untuk segmen premium di Kelapa Gading, Serpong, Metropolis dan GTC di Makasar.

Sebagai tambahan sejak November 2002, MPP juga mengoperasikan 46 kedai Boston Drugs & Pharmacy di dalam supermarketnya guna menunjang konsep belanja di satu tempat (one-stop shopping)

Toko hipermarketnya ini menambah panjang jaringan ritel Matahari di seluruh Indonesia, menjadikannya salah satu perusahaan ritel terbesar di Asia Tenggara.

Hingga akhir tahun 2004, menurut Direktur dan Corporate Secretary Matahari, Danny Kojongian, MPP berencana untuk membangun 6 hipermarket baru, dengan alokasi dana Rp15-20 miliar untuk satu hipermarketnya.


Hadirnya Hypermart ini bisa jadi merupakan perwujudan semangat dan ambisi Noel Trinder, yang baru terpilih sebagai Chief Executive Officer (CEO) Matahari Supermarket (MSM) Februari lalu. Menurut Trinder secara total, Matahari akan menginvestasikan dana sebesar Rp1 triliun untuk menunjang strategi ekspansi MSM secara keseluruhan, dalam jangka waktu 3-5 tahun mendatang. Untuk pengembangan Hypermart, dana yang khusus dialokasikan adalah sebesar Rp600 miliar.

“Kami akan terus mengembangkan keberadaan Hypermart dengan membuka kurang lebih 50 hipermarket di berbagai lokasi strategis di Indonesia,” ujarnya. Dana ini di luar dana MSM untuk mengembangkan gerai supermarket konvensionalnya, yang dialokasikan sebesar Rp150 miliar

Optmisme diperlihatkan oleh James T. Riady, Chairman Lippo China Resources Ltd, Hong Kong. Menurut James Matahari sebagai perusahaan publik dengan dukungan 2700 suppliers adalah retailer terbesar yang unik karena multi format.

“Ada department store, supermarket, ada Market Place dan sekarang Hypermart,” ujarnya. Hypermart yang merupakan gabungan dari konsep supermarket dan general merchandize menurut James layak terus dikembangkan dalam 5 tahun yang akan datang. ”Hypermart yang akan datang semuanya akan lebih besar dari ini,” ujarnya. Menurut James, Hypermart harus siap bersaing dengan Carrefour dan Giant yang sudah terlebih dulu hadir.

“Kalau Makro dan Goro beda, itu formatnya cash and carry,” ujarnya. Dengan volume penjualan Rp 6 triliun per tahun menurut James, akan mudah bagi Matahari mendapatkan leverage (daya dongkrak) dari pemasok. Yang kedua, Matahari yang dalam setahun menarik 700 juta pengunjung, otomatis memberikan nilai yang positif, sehingga sinergi marketing-nya juga akan jalan. Yang ketiga, Matahari mempunyai expertise karena sudah berkecimpung di retailing business selama 50 tahun, sehingga, “kalau sekarang masuk ke format baru, saya yakin akan jadi baik,” ujarnyaEdward Forrer


KISAH DAN PENJELASANNYA


Edward Forrer mungkin terdengar seperti nama orang asing, namun pada kenyataannya ini adalah nama seorang buruh di Bandung pada tahun 1980-an. Edward Forrer – biasa dipanggil Edo – adalah seorang pemuda miskin. Masa-masa kecilnya diliputi kepedihan.

Sering kali ia menyaksikan bagaimana ibunya harus membujuk adik-adiknya meminum air yang banyak untuk mengganjal perut. Edo menjadi tulang punggung keluarga di usia muda ketika ayah dan ibunya bercerai.

Sebagai lulusan SMA, ia tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan selain menjadi buruh kasar.

Ia bekerja di bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 1980-an, Edo mendapat pencerahan untuk mengubah nasibnya. Suatu hari ia membaca sebuah artikel mengenai pengembangan talenta di koran. Artikel itu dibacanya berulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi mencari hal yang mungkin menjadi bakatnya.
Butuh waktu cukup lama hingga ia teringat bahwa semenjak sekolah dasar dia sangat senang menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu-satunya bakat yang dimiliki, meskipun telah lama ia lupakan.

Dengan cepat, Edo menghidupkan bakatnya itu dengan objek yang sudah tidak asing lagi: Sepatu. Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat ia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Ia pun mendesain sepatunya sendiri dengan membuat modifikasi tumpukan sepatu yang sehari-hari dilihatnya, dengan tambahan imajinasi dan kreasi. Namun sayang, bos tempatnya bekerja menolak untuk memproduksi desain itu.

Penolakan itu tidak membuat Edo jera, dia tetap rajin membuat desain-desain baru meskipun ia tahu desain tersebut hanya akan berakhir di laci meja.

Pada tahun 1989, Edo mengambil keputusan berani untuk meninggalkan perusahaannya setelah melihat tidak adanya peluang untuk mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama tetapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing.

Dengan bermodalkan sepeda kumbang tua, ia menawarkan produknya dengan cara yang gila; ketika itu ia belum memproduksi satu pun desainnya sehingga ia menawarkan sepatunya hanya dengan gambar yang ia buat. Sial bagi Edo, ide penjualan yang unik ini ditolak mentah-mentah, tak ada yang mau membeli sepatunya.

Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah terlebih karena ia meminta uang muka terlebih dahulu sebelum sepatunya dibuat, ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.

Untuk menutupi biaya hidup, Edo membuka les private. Tak disangka orang tua murid di tempat Edo mengajar menjadi pelanggan pertama Edo. Mungkin karena belas kasihan, orang tua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar uang muka untuk membeli bahan kulit. Edo girangnya bukan main saat mengerjakan pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya mengantarkan sepatu untuk si ibu.

Sepatu itu dibuat dengan susah payah karena meskipun pandai mendesain, dia tidak begitu pintar menge-sol sepatu. Karena itu ia terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit pertama. Produk pertamanya itu memang dipasarkan dengan cara yang tidak lazim, tetapi hasilnya bagus dan kokoh sehingga si Ibu merasa senang.

Ibu tersebut kemudian memamerkan sepatu buatan Edo ke ibu-ibu lainnya, dari arisan ke arisan, sepatu customized buatan Edo yang kokoh dan tidak pasaran menjadi terkenal dan penjualan meningkat, dari yang tadinya lima order dalam seminggu menjadi lima pesanan dalam sehari. Edo pun mengumpulkan uang dan dengan Rp.200.000 ia merekut dua orang karyawan dan membeli sebuah mesin jahit

Seiring dengan membengkaknya penjualan, Edo tidak lagi menawarkan produknya dengan sepeda kumbang, tetapi membangun showroom kecil-kecilan berukuran 2 x 2 meter di ruang tamu rumahnya. Perkembangan selanjutnya, ia mampu menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung, namun karena ternyata tidak laku, ia memindahkan tokonya ke tempat yang lebih besar di Jalan Veteran No. 44 bandung, yang kini menjadi kantor pusat Edward Forrer.

Konsumen Edo yang tadinya ibu-ibu kelas menengah ke bawah pun berangsur angsur berubah menjadi konsumen menengah ke atas. Gerai distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orang-orang dari Jakarta.

Selain desain sepatu yang modis, orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama lengkap Edo: Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia.

Padahal sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung. Menghadapi pesanan bertubi-tubi, Edo kewalahan dan memutuskan untuk tidak memproduksi sepatunya sendiri. Ia hanya menyediakan desainnya dan menjualnya dengan merek miliknya. Edo juga memantapkan tim kreatif desain dan menjadikannya sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini. Ia menargetkan desainernya mampu menelurkan 2 model sandal dan sepatu baru setiap 10 hari.

Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai penjualan di luar negeri untuk mewujudkan mimpinya sebagai pembuat sepatu terbaik di dunia. Ia memiliki satu gerai ada di Malaysia dan Hawaii serta dua di Australia yang dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri. “Saya ini pemimpi dan visioner. Selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu,” kata Edo.

Kini Edo tinggal di Australia, menikmati hasil kerjanya; dan sesekali pulang ke Bandung untuk memantau bisnisnya dari dekat.


POLYTRON


KISAH DAN PENJELASANNYA


percayakah anda bahwa produk elektronika yang bermerek polytron atau digitec adalah produk made in indonesia ? Tahun 1990-an dulu, polytron meluncurkan produk televisi dengan merek ninja dan sumo. Juga produk audio dengan merek asing seperti bassoke. Nah, anda seharusnya bangga sekarang kala mengetahui bahwa merek-merek “asing” di atas sebenarnya 100% merek indonesia.

Merujuk pada tulisan andi suruji di koran kompas (sayang saya tidak menemukan edisi kapan), polytron adalah akronim dari kata poly yang berarti banyak dan kata tron yang adalah singkatan dari kata elektronika. Berarti polytron adalah kumpulan banyak barang elektronika. Secara harafiah tepat karena produk polytron memang bervariasi dari televisi, audio system, kulkas dan ac. Pertanyaannya adalah kenapa sebagai merek asli indonesia harus memakai kata berbau asing seperti polytron atau digitec ini ?

J. Arief hartono, dirut pt hartono istana teknologi menjawab bahwa itulah strategi bisnis untuk menghadapi karakter masyarakat yang tergila-gila dengan produk luar negeri. Apalagi sudah ada persepsi di benak orang indonesia bahwa produk elektronika pastilah identik dengan barang-barang dari jepang. Saya aja dulu juga mengira kalau polytron ini barang impor dari jepang he..he…

saya membuka-buka kliping saya yang berasal dari tulisan sonni (markplus professional service) di koran surya tahun 1996 dengan judul mempersepsi produk. Penulis mengangkat polytron sebagai contoh bagus dalam hal mempersepsi produk.

Target market polytron adalah masyarakat yang menganggap bahwa barang elektronika haruslah buatan jepang. Karena itulah maka brand name polytron dan digitec dipilih dengan diiringi oleh klaim produknya sebagai teknologi jepang dan mengeluarkan produk dengan nama ke-jepang-jepang-an seperti ninja atau sumo.

Menurut penulisnya, inilah kunci sukses polytron menguasai pasar elektronika indonesia yaitu dengan memperhatikan dahulu apa yang ada di benak prospek.

Sejarah polytron dimulai pada tanggal 16 mei 1975, saat pemilik pabrik rokok pt djarum kudus mendirikan perusahaan dengan nama pt indonesia electronic dan engineering dengan penyertaan modal sebesar rp. 50 juta untuk memproduksi barang elektronika. Sebagai industri rokok yang berekspansi ke industri elektronika, sejak awal pemilik perusahaan tidak mau melibatkan pihak maupun modal asing. Sejak berdiri perusahaan ini tidak memiliki prinsipal sehingga tidak harus membayar royalti pada setiap produk yang dihasilkan.

Tahun 1977, perusahaan merekrut 14 perempuan lulusan smea dan sma untuk dilatih menyolder dalam usaha merakit komponen menjadi rangkain produk elektronika. Didatangkanlah komponen-komponen elektronika dari singapura sebagai bahan training 14 karyawan tersebut.

Setelah cukup belajarnya, pada tahun 1977 pabrik di kudus ini mulai mendatangkan komponen dari belgia untuk memulai proses alih teknologi dari philips-mble belgia. Diluncurkanlah produk televisi pertama mereka dengan merek polytron.

Tapi televisi pertama mereka ini gagal di pasaran karena ukuran televisinya yang besar dan masih memerlukan kotak speaker sehingga tidak menarik pembeli yang ingin produk yang praktis. Di sinilah pabrik ini mengalami kegagalan dalam pemasaran.

Produk mereka ditolak oleh toko-toko elektronika bahkan sang dirut pernah diusir oleh toko kala menawarkan polytron ini. Tapi menyadari bahwa mereka adalah pabrik rokok yang ingin menguasai industri elektronika, makanya mereka bersedia menjalani masa-masa sulit itu sebagai kesempatan untuk belajar.

Dari teknologi eropa mereka beralih ke teknologi hongkong. Dari komponen-komponen yang diimpor dari hongkong mereka meluncurkan televisi hitam putih 20 inchi.

Saat itu pula mereka membuka lembaga riset dan pengembangan sendiri sehingga sejak itu mereka menjadi pabrik elektronika dengan desain produk yang diciptakan sendiri. Alih teknologi televisi juga didapat dari kerjasama mereka dengan perusahaan televisi salora dari finlandia (kelak bernama nokia).

Nama perusahaan kemudian berubah dari pt indonesia electronic dan engineering menjadi pt hartono istana electronics, lalu di tahun 2000 berubah lagi menjadi pt hartono istana teknologi. Seiring dengan perubahan namanya, perusahaan ini sudah berhasil mengembangkan teknologi televisi berwarna hemat energi (40 watt) dengan ukuran 17, 20 dan 26 inchi.
Bahkan mereka mampu menghasilkan televisi dengan daya 20 watt saja, yang diklaim sebagai yang pertama di dunia.

Terus terang saya kagum dengan perusahaan ini. Inovasi dan kreativitas para insinyurnya sangat kentara dalam menghasilkan produk yang cerdas dan menarik. Produk yang sebenarnya cukup menarik (tapi sayang sepertinya tidak terlalu diterima pasar) adalah kala meluncurkan produk kulkas yang bisa berfungsi sebagai pendingin tapi juga ada bagian yang bisa berfungsi sebagai pemanas makanan.

Dengan cerdas mereka memanfaatkan energi panas yang terbuang kala proses pendinginan untuk dimanfaatkan sebagai pemanas makanan.

Secara kreatif mereka juga pernah meluncurkan produk televisi yang dilengkapi dengan vcd player di dalamnya. Dan sekarang mereka juga meluncurkan produk televisi lcd yang dilengkapi dengan koneksi usb. Kreatif bukan ?

Saat saya masih kuliah untuk belajar akustik dan fisika bangunan, produk audio bassoke saat itu sering dijadikan sebagai contoh produk yang dengan cerdas memanfaatkan kecenderungan orang-orang pedesaan yang telinganya senang terhadap nada bass ketimbang treble. Dan karena itulah produk audio polytron laris manis karena lebih suka menonjolkan bunyi bass-nya.

Dari sisi marketing, polytron sering dijadikan contoh produk yang awalnya sukses dipersepsi pasar sebagai produk murah tapi berkualitas jepang dan sekarang mulai bermetamorfosis sebagai produk yang juga diterima oleh kalangan atas baik dari produk televisi maupun audio systemnya.

Yang mengherankan, produk audio polytron ternyata berhasil mengalahkan produk-produk papan atas dari jepang dan eropa yang selama ini mendominasi pasar. Berdasarkan survei frontier consulting group di akhir tahun 2006, polytron menempati posisi teratas dalam hal kepuasan pelanggan, di atas merek sony, jvc, aiwa, panasonic, sharp, philips dan sanyo. Dari persepsi pelanggan, polytron dianggap lebih unggul dalam hal kualitas, harga maupun pelayanan konsumen.

Pada tahun 2006, polytron menjadi the best seller 2005 for audio home system and audio recorder dari gfk certified indonesia. Pada tahun itu pula polytron menyabet indonesia customer satisfaction award for radio cassette category versi swa mars.

Tahun 2007, polytron menyabet top brand award dari frontier consulting group dan majalah marketing. Polytron juga meraih the best inovation in marketing award dari majalah marketing. Prestasi yang sama juga diraih pada tahun 2008 dan 2009.


Sekarang, polytron juga mulai mengekspor produknya walau harus merubah bendera supaya diterima pasar lokal eropa. Kata sang dirut di tulisan andi suruji di koran kompas, pasar jerman hanya mau menerima produk polytron kalau bajunya diganti dulu walaupun barangnya sebenarnya 100% complete built-up dari pabrik polytron di kudus. Jadi kalau ada sobat pembaca di eropa, terutama di jerman, yang melihat ada produk elektronika bermerek cancer atau condor, anda seharusnya bangga dan tersenyum karena itu adalah produk elektronika indonesia yang pabriknya ada di kudus.


POLYGON



KISAH DAN PENJELASANNYA

Polygon EssentialApalah arti sebuah nama, demikian Shakespeare pernah berucap. Namun ucapan Shakespeare itu menjadi tak berarti jika menginjak ke ranah industri sepeda. Sebuah nama adalah sebuah identitas. Nama akan menjadi suatu bagian terpenting dari karakter sepeda yang juga akan mewakili jati diri pengendaranya. Identitas itu pula yang menjelma dalam sebuah nama POLYGON.

Sejak awal berdirinya, POLYGON telah memiliki visi jangka panjang menjadi pemain kelas dunia. Bermula tahun 1989 dari satu kawasan kecil yang namanya tak banyak dikenal orang, Wadungasih Sidoarjo – Jawa Timur, sebuah pabrik sepeda didirikan dengan tekad besar menembus pasar internasional. Sejak berdiri hingga kini, jutaan sepeda telah diekspor ke 5 benua dengan tujuan ekspor lebih dari 50 negara.

Polygon EssentialPengembangan suatu usaha dalam kancah persaingan global memerlukan pondasi yang kuat dalam banyak segi. Berpijak dari dasar itulah maka dipilih nama POLYGON untuk sepeda terbaik bagi dunia. POLYGON dalam arti harafiahnya berarti ‘segi banyak’ dipandang pantas untuk menyandang karakter sebuah produk nasional menuju ketatnya pasar internasional.

Semua segi itulah yang telah dan terus dibangun POLYGON dengan berpijak pada 4 pilar utama: technology, quality, craftmanship, dan support. Inilah sebuah sosok yang terus dan akan terus berkembang, demi menggapai lebih banyak lagi prestasi di kancah internasional.
WIM Cycles

KISAH DAN PENJELASANNYA

PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries adalah produsen terkemuka di Indonesia sepeda. Perusahaan, yang juga dikenal sebagai Wim Cycle, mendominasi pasar lokal dengan pangsa pasar yang signifikan. Dengan lebih dari tiga dekade pengalaman, Wim Cycle juga berhasil di pasar ekspor. Wim Cycle secara konsisten menjadi penyumbang terbesar untuk ekspor Indonesia sepeda selama bertahun-tahun dan sepeda tersebut pada saat ini diekspor ke lebih dari 20 negara di seluruh dunia. ?

Sejarah

Wim Cycle didirikan pada tahun 1972 dengan nama CV Indonesia Makmur oleh Bapak Hendra Widjaja. Perusahaan bagian sepeda mulai dari manufaktur di Surabaya pusat.

Pada tahun 1976, nama perusahaan berubah menjadi PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries dan diperluas untuk mencakup pembuatan sepeda, serta bagian, di Desa Bambe Driyorejo Industrial Estate.

Pada tahun 1984, perusahaan mulai memproduksi sepeda untuk pasar domestik, dan pada tahun 1987 mulai mengekspor sepeda ke Arab Saudi, serta ke Jerman, Belanda, Italia, Yunani dan negara-negara Eropa lainnya.

Pada tahun 1991, Wim Cycle memulai ekspor sepeda ke Amerika Serikat, memasok jaringan toko-toko besar seperti R 'Us, Toys' Wal-Mart dan Target.

Pada tahun 1994, ekspor WIM siklus produknya ke Kanada, menyediakan hipermarket termasuk Kanada Tire, ZELLERS, SEARS dan Home Hard Ware.

Saat ini perusahaan diekspor ke merek utama seperti LOEKIE, Sparta, musang, Kawasaki, Schwinn, REBOOK serta merek OEM massa lainnya. Perusahaan terus memperluas pasar ekspor dan tidak pernah melihat ke belakang sejak saat itu.

Pabrik dan Kontrol Kualitas Wim Cycle menempatkan prioritas tertinggi pada inspeksi yang presisi dan quality control yang ketat untuk memastikan produk bebas dari cacat dan bahwa mereka memenuhi standar keamanan. Tes-tes tersebut dilakukan oleh teknisi pengendalian mutu dengan menggunakan peralatan laboratorium modern.

Pada tahun 2008, Wim Cycle ISO 9001:2008 dicapai No.13825 Cert.
Di pasar domestik, wimcycle adalah merek terkenal:

* Wimcycle telah diberikan oleh Superbrand pada tahun 2005 - 2009

selama 5 tahun terakhir terus menerus

* Wimcycle telah diberikan oleh panel TOP BRAND di tahun 2007,, 2008

2009 selama 3 tahun terus-menerus

* Wimcycle telah diberikan oleh TOP BRAND KIDS pilihan tahun ini

* Wimcycle tahun ini telah membuat ke ORIGINAL 250 merek TOP INDONESIA

Merek

Saat ini perusahaan telah datang jauh dari sebuah industri rumah kecil di Surabaya pusat memproduksi bagian-bagian sepeda ke pemimpin pasar dalam industri sepeda baik domestik dan internasional. Jalan menuju sukses tidak selalu mulus. Pertumbuhan perusahaan secara langsung terkait dengan kepuasan konsumen, yang merupakan dasar dari komitmen perusahaan. Wim Cycle berpendapat bahwa ia memiliki tugas untuk melestarikan bumi untuk generasi mendatang. Ini akan terus melindungi lingkungan dengan mempromosikan transportasi sepeda sebagai solusi terhadap masalah pencemaran di Indonesia dan dunia saat ini.

CFC



CFC (California Fried Chicken) sudah terkenal dengan cita rasa ayam gorengnya yang nikmat dan gurih. Tahukah Anda bahwa perusahaan ini merupakan perusahaan Indonesia. Memang nama yang dimiliki perusahaan ini sangat mencerminkan Negara Amerika. Namun ternyata produknya murni asal Indonesia. Kebanggaan yang dimiliki CFC terletak pada ciri khas rasanya yang sebanding dengan ayam goreng asal Amerika. Awalnya, perusahaan ini bernama California Pioneer Chicken. Namun sejak tahun 1988, namanya diganti menjadi California Fried Chicken hingga sekarang?

BYON




di saat persaingan pasar notebook di indonesia, ada satu produk namanya byon. yap, produk ini terkenal murah, kenapa? karena ini produk indonesia gan . jadi kalo buat di indonesia ga kena pajak macem macen gan, so jadi lebih murah gan.. kalo soal kualitas? byon sendiri mempunyai konsep unik yaitu konsep notebook yg dapat di upgrade menjadi komputer destkop gan. produk ini juga ga kalah ama produk2 lain gan.. ? kehadiran byon juga membuktikan bahwa indonesia juga mampu membuat teknologi canggih gan !!

EIGER DAN BODYPACK



biasanya kalo agan agan liat bodypack, pasti ada eiger. kenapa gan? karena bodypack dan eiger ini masih dalam satu induk gan . berpusat di bandung gan (ada yg dibandung gan? ) . kedua produk ini terkenal dengan produk tasnya gan . loh terus bedanya apa gan??

bodypack : tasnya lebih ke style atau wisata eiger : untuk berbau alam, ga salah di kalangan pencinta alam eiger sudah tidak asing lg gan.

EXSPORT






Selain Eiger dan Bodypack, produk tas terkenal lainnya juga asli dari Indonesia yaitu Exsport. Kualitasnya gak kalah ama pesaingnya gan


Jeans LEA


wah ini produk indonesia gan? benar ! ini produk indonesia loh gan.. walopun agan ngeliat toko dan iklannya berbau amerika, tp jgn salah ini tetap produk murni indonesia kok gan . kalo kualitas? wah sudah pasti terjamin gan.. hampir di semua mall mall ada yg jual nih produk gan . lea pun ga pernah minder kalo sejajar ama produk produk lokal di mall mall gan
(ialah sama sama produk lokal gan)

Jumat, 17 Desember 2010

GULA AREN, BENTENG DAULAT PANGAN, MERDEKA DARI KELAPARAN DAN KETERGANTUNGAN IMPOR

Oleh DaRu indriYo
Pangan adalah kebutuhan pokok utama dalam kehidupan ini. Bila pangan saja tidak tercukupi, maka jangan berharap bangsa suatu negeri akan makmur sehingga bangsa itu mampu mewujudkan cita-cita luhurnya. Kemerdekaan dari penjajahan pangan, keterbatasan akses terhadap sumber daya pangan, ketidakberdayaan dalam pengolahan bahan pangan, dan ketiadaan infrastruktur untuk mendistribusikan keanekaragaman konsumsi pangan, menjadi agenda mendesak untuk diselesaikan tiap insan yang sadar akan pentingnya nutrisi dan gizi.
Pangan yang cukup, aman dan bergizi akan dapat mencegah lemah fisik, lemah otak, loading lama, lembek daya intelegensia, IQ jongkok dan buntu daya nalar. UU No.7 Tahun 1996 telah mengamanatkan: ”Pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan”. Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dan tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya aman serta terjangkau. GBHN 1999-2004: ”Peningkatan ketahanan pangan dilaksanakan dengan berbasis sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan petani atau nelayan dan pelaku usaha skala kecil lainnya. Adanya otonomi daerah, idealnya Bupati melalui BUMD pangan mampu membeli hasil panen dari petani atau nelayan. Lahan pertanian yang subur atau lautan yang tak tercemar merupakan ibunya sumber kemakmuran bagi petani maupun nelayan, karenanya akan menghasilkan panen yang berlimpah sesuai harapan. Saat ini, petani cukup kesulitan untuk bercocok tanam, karena banyak sekali adaptasi terhadap perubahan iklim dan kendala mitigasi dalam menghadapi dampak perubahan-perubahan yang tak menentu. Mencari lahan yang masih subur pun tidak mudah karena lahan pangan tergusur oleh pembuatan jalan raya, pembukaan areal tambang, pekebunan, perumahan, pasar modern, super mall, perkantoran, kawasan industri atau pabrik-pabrik. Impor Pangan, Solusi Publik atau Pundi Pribadi? Keamanan pangan menjadi hal yang hakiki dalam kehidupan manusia sehari-hari. Urusan impor pangan menjadi tren yang dari tahun ke tahun semakin menggunung, mulai impor gula, kedelai, tepung terigu, beras, jagung, daging, aneka buah dan yang terakhir impor garam, apakah suatu saat nanti kita juga akan impor air? Siapa sebenarnya yang mendulang keuntungan terbesar dari siklus impor pangan ini? Apa benar rakyat kita telah menikmati manfaat kebijakan dan realisasi impor ini? Apakah ini solusi pengadaan pangan yang bergizi, higienis, efektif dan efisien untuk publik? Sistem perlindungan ketahanan pangan hingga saat ini belum dapat dinikmati warga, meskipun penduduk sejak dulu sebenarnya sudah mempunyai sistem yang diwariskan dari para leluhur berupa ’lumbung’ dari mulai individu, keluarga hingga desa. Aneka macam sumber pangan baik nabati maupun hewani telah ada di dalam konteks ’lumbung’ tersebut, sehingga ketika musim paceklik, gagal panen atau terjadi bencana maka tabungan pangan ini dapat dikeluarkan. Tren impor beberapa komoditas pangan kita sejak 2009 hingga 2013 terus meningkat kecuali beras, dengan urutan terbesar impornya sebagai berikut Gula 3,67 juta ton dengan nilai US$ 1,9 miliar, Jagung 3,19 juta ton dengan nilai US$ 920 juta, Kedelai 1,7 juta ton dengan nilai US$2,4 miliar, Buah 0,5 juta ton dengan nilai US$ 6677 juta, Sayuran 0,79 juta ton dengan nilai US$ 632 juta dan Beras 0,47 juta ton dengan nilai US$ 246 juta.
Gambar 1. Tren Realisasi Impor Gula Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia)
Gambar 2. Tren Realisasi Impor Jagung Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia)
Gambar 3. Tren Realisasi Impor Kedelai Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia)
Gambar 4. Tren Realisasi Impor Buah Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia)
Gambar 5. Tren Realisasi Impor Sayur Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia) Gambar 6. Tren Realisasi Impor Beras Indonesia 2009-2014 (Sumber:BPS - CNN Indonesia) Jargon kebutuhan pokok 4 sehat 5 sempurna sudah tidak relevan lagi, karena kebutuhan yang 4 sehat berupa karbohidrat, sayur, buah, lauk pauk dan susu tidak dapat dipenuhi secara higienis dan bergizi di dalam negeri, untuk mendapatkan bahan yang berkualitas dan harga murah kebanyakan harus impor dari luar negeri. Seolah produksi dalam negeri tak ada yang memenuhi standar pangan yang bermutu dan organik, sementara petani dan nelayan dibiarkan liar berjuang sendiri tanpa insentif yang berarti dari pemerintah atau kemitraan dengan swasta yang setara sehingga dapat menopang logika produksi mereka. Ruang nyaman praktek kartel menguasai komoditas pangan nasional sudah berlangsung lama, jika ada pemain baru yang akan masuk untuk mewarnai maka mereka akan bereaksi keras sebab akan menggeser cashflow di kantongnya yang sudah mapan. Bagi yang bermental trader yang ingin mendapat manfaat sesaat sebagai pemburu rente maka mereka akan mati-matian bertahan dalam persekongkolan hunger game ini demi pundi pribadi. Sebaliknya, bagi yang bermental investor tentu mereka akan berpikir jangka panjang demi manfaat semua pihak dengan mengutamakan kepentingan mayoritas pihak yang membutuhkan. Kartel pangan ini, telah merasuk menggurita, dengan impor gula dari Thailand, Australia, Selandia Baru, beras dari Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar, daging yang mayoritas dari Australia dan Selandia Baru, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina. Dengan potensi lahan tidur atau nganggur, hingga saat ini kebutuhan ubi kayu atau singkong pun di tahun 2013 masih mengimpor sekitar 100.798 ribu kg ubi kayu dengan nilai US$ 38.380 yang berasal dari Thailand dan Vietnam. Apakah benar petani kita sudah tidak mampu menanam singkong? Apakah bibit singkong yang berkualitas sudah tidak ada? Ataukah minat petani untuk menanam sudah terhenti?
Persediaan pangan kita sangat beraneka ragam, intervensi kolonialisme, industri, godaan pasar dengan motor kapitalisme global acap kali memonopoli komoditi tertentu dengan monokultur sehingga jenis-jenis yang lain terabaikan, tersingkir dan akhirnya punah. Kelangkaan pangan sebenarnya tidak boleh terjadi, mengapa? Di tiap-tiap daerah telah dikaruniai sumber bahan makanan pokok baik itu karbohidrat, protein dan vitamin yang cukup bergizi, karena nalar penyeragaman yang salah-kaprah menjadikan salah satu sumber pangan menjadi dominan, sehingga jadi bumerang jika terjadi gagal panen atau mati maka tak dapat mencukupi kebutuhan. Misalnya, sumber karbohidrat di lahan petani atau nelayan ada 9 sumber dapat berasal dari beras, jagung, sorgum, sagu, ubi jalar, ubi kayu atau singkong, kentang, talas, rumput laut tapi kebijakan pemerintah hanya mengakomodir satu sumber yang dianggap prioritas pangan atau konsumsi terbanyak dengan mengabaikan sumber-sumber yang lain. Akhirnya ketika terjadi masa paceklik, puso atau gagal panen yang massif, karena dominasi beras ini seolah-olah tidak ada sumber pengganti yang lain maka mau gak mau kebijakan instan berupa impor dianggap sebagi solusi terbaiknya. Nalar kebutuhan mendasar jika diselesaikan dengan cara instan tersebut, dalam jangka panjang dapat mengancam kehidupan tiap individu manusia dan eksistensi bangsa. Negara hadir seharusnya mampu memberikan perlindungan demi kepentingan publik, bukan menjadi fasilitator segelintir oknum kartel pengambil manfaat sesaat dengan aji mumpung demi kantong pribadi. Dalam 10 tahun terakhir ini impor pangan Indonesia terus mengalami pertumbuhan, impor pangan di tahun 2003 tercatat US$ 3,34 miliar, sedangkan di tahun 2013 impor pangan mencapai US$ 14,90 miliar, atau tumbuh 4 kali lipat. Kontribusi pertanian dalam PDB (Pendapatan Domestik Bruto) terus turun dari waktu ke waktu, yaitu 15,19% di 2003, sedangkan di 2013 lebih kecil hanya 14,43% dan melonjaknya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252,16 juta jiwa telah memicu tingginya impor pangan. Indonesia sekarang penduduk ke empat terbesar di dunia yang mengonsumsi produk pertanian kita. Jadi diperlukan kebijakan yang berpihak pada kedaulatan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani. Pemerintah telah berupaya dalam pengelolaan cadangan pangan melalui kegiatan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP) baik di provinsi, kabupaten maupun kota. Cadangan pangan yang dikelola masyarakat dikembangkan serta dilaksanakan melalui kegiatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) dan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) serta pengembangan Desa Mandiri Pangan (Desa-Mapan) dan lumbung pangan. Sebagian besar penduduk kita adalah masyarakat petani dan nelayan yang tinggal di wilayah perdesaan dan pulau-pulau kecil, maka aspek distribusi untuk mengakses pangan sering menjadi kendala. Distribusi pangan dimaksudkan untuk menjamin seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan mutu yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau, melalui pengembangan sistem distribusi yang efektif dan efisien. Pemerintah juga mengembangkan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) pada Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN). Pola pendekatan LDPM yaitu melalui pemberdayaan masyarakat atau kelompok tani agar mampu mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif secara berkelanjutan dan berkembang secara swadaya. Pengembangan LDPM ini adalah untuk peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga, rumah tangga, atau kelompok petani khususnya di sentra produksi, agar petani memperoleh harga pokok produksi (HPP) yang lebih baik, memperkuat pengelolaan cadangan pangan, sehingga memudahkan akses terhadap pangan serta nilai tambah dari hasil produksinya, hal ini juga akan menjaga stabilitas harga produksi di tingkat petani. Seberapa efektif kinerja lembaga-lembaga tersebut di lapangan sehingga mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan pangan ini? Apakah sudah ada beberapa daerah yang terbukti berjalan? Industri Gula Tebu Menuju Titik Jenuh Target revitalisasi industri gula di tahun 2014 oleh pemerintah dengan upaya swasembada produksi gula 5,7 ton sepertinya gagal tercapai, meski rencana ini didukung pembangunan pabrik gula yang baru dengan jumlah 15 hingga 20 pabrik. Selain memproduksi gula 2,31 juta ton pada tahun 2011, Indonesia juga harus mengimpor gula mentah (raw sugar) 108.889 ton dan gula kristal putih 143,479 ton. Indonesia adalah salah satu konsumen gula terbesar dunia setelah Amerika Latin. Sejak 1673, Belanda telah memulai gaung pengembangan industri gula tebu secara monokultur di dataran rendah sekitar Batavia, dengan pabriknya di daerah Kebayoran Lama. Hasil dari pencanangan ekspansi gula tebu ini yaitu rekor menjadi eksportir gula terbesar dunia setelah Kuba di tahun 1930. Pada tahun tersebut jumlah pabrik gula mencapai 179 buah yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Nasionalisasi pabrik gula mulai tahun 1957 telah menurunkan kinerja industri gula, hingga tahun 1975 pemerintah mencanangkan Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) demi peningkatan produksi dan produktivitas gula domestik. Seiring dengan hal tersebut, tahun 1995 pemerintah juga memberi kewenangan kepada Bulog untuk mengendalikan penyediaan bahan pangan pokok dan harganya, termasuk di dalamnya gula. Tarif bea masuk impor gula pada saat itu adalah 0 % (nol persen). Industri gula tebu nasional menghadapi permasalahan yang kompleks, seperti halnya pabrik gula yang sudah uzur karena rata-rata sudah berumur di atas 80 tahun. Pokok masalah gula tebu ini dimulai dari menurunnya luas areal tanaman tebu, rendahnya produktivitas tebu yang dihasilkan petani, rendahnya rendemen yang dihasilkan serta manajemen pabrik gula yang tidak efisien. Pada tahun 2003, ada 58 pabrik gula (PG) yang masih beroperasi milik BUMN, 6 PG milik swasta, yang rata-rata PG ini beroperasi di bawah kapasitas giling disebabkan oleh mesin telah uzur dan tidak mendapat perawatan yang memadai.
Komoditas Gula yang terdapat di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP merupakan jenis gula yang hanya untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, restoran, dan hotel, dan sebagai bahan penolong oleh perajin makanan dan minuman skala rumah tangga (home industri). Sementara GKR merupakan jenis gula yang hanya digunakan oleh industri makanan, minuman dan farmasi skala besar, dan dilarang masuk ke pasar gula GKP. Harga domestik GKP direpresentasikan oleh harga GKP di tingkat konsumen di pasar tradisional di beberapa ibukota provinsi. Perkembangan selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), harga GKP di pasar domestik meningkat tajam, yaitu dari Rp 6.539/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 13.212 pada tahun 2012. Hal ini berarti harga domestik naik lebih dari 100% atau rata-rata hampir 20%/tahun. Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi GKP, sebenarnya produksi GKP sudah cukup, bahkan ada surplus, sehingga tidak perlu dilakukan impor. Namun untuk mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi gula (GKP dan GKR), produksi masih kurang. Selama 2008-2012, jumlah kekurangan (defisit) cenderung membesar, yaitu dari 1.550 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.957 ribu ton pada tahun 2012, yang masing-masing merupakan 36,7% dan 42,9% dari produksi masing-masing tahun tersebut. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat besar. Untuk menutup defisit tersebut dilakukan impor.
Selama 2008-2010 volume impor gula (berbagai jenis gula tebu) terus meningkat, yaitu dari 984 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.383 ribu ton pada tahun 2010, yang berarti meningkat 20,1%/tahun. Pada tahun 2011 dan 2012, volume impor gula masing-masing mencapai 181.60 ribu ton dan 1.150 ribu ton. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, harga paritas impor GKP terus meningkat, yaitu dari Rp 4.772/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 9.157 pada tahun 2012. Hal ini berarti harga internasional gula GKP meningkat sekitar 18% per tahun. Meningkatnya harga paritas impor yang merepresentasikan harga internasional tersebut disebabkan terutama oleh meningkatnya harga impor dalam US$, dimana lonjakan harga terjadi pada tahun 2011. Nilai tukar US$ terhadap rupiah berfluktuasi dan tidak menunjukkan penguatan yang signifikan sehingga tidak berdampak meningkatkan harga impor dalam rupiah.
Meski angin optimisme pemerintah untuk swasembada gula dengan memanfaatkan lahan terlantar 350 ribu hektar di Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan, namun kendala teknis, dan biaya pembangunan cukup besar yakni Rp1,5 triliun sampai Rp2 triliun. Bagai ayam dan telur, revitalisasi 27 pabrik gula seringkali tidak dibarengi dengan produktivitas lahan tanaman tebu, begitu pula ketika produksi tebu meningkat justru mesin giling rusak karena sudah lama tidak dipakai. Menurut Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), masuknya gula rafinasi ke pasar dalam negeri membuat keberadaan petani tebu terpuruk. Sejak dibukanya kran impor gula rafinasi tahun 2010 lalu, menurut Soemitro Samadikoen justru semakin menghancurkan petani tebu. Kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman tahun 2012 sekitar 2,4 juta ton – 2,5 juta ton. Sementara, Dewan Gula Indonesia (DGI) memutuskan impor gula mentah untuk konsumsi langsung masyarakat tahun 2012 sebanyak 240 ribu ton.
Kegagalan target pemerintah dalam swasembada gula tebu ini tidak saja dikarenakan masalah on farm tetapi juga struktur perdagangan dunia yang tidak adil. Membanjirnya gula impor oleh para pelaku usaha yang mendewakan harga murah, telah berakibat pada terpuruknya industri gula nasional dan otomatis juga petani terkena dampak buruk ini. Ketergantungan terhadap impor gula yang semakin meningkat maka akan mematikan industri gula dalam negeri. Hal ini jika dibiarkan terus berakibat pada kerawanan pangan yang semakin akut, Indonesia sebagai negara yang punya penduduk yang besar telah gagal memenuhi kebutuhan pangannya sendiri atau tidak dapat menangkap peluang konsumen di depan mata. Kuantitas produksi gula jika mau swasembada seharusnya dapat mencapai target sekitar 5,77 juta ton Gula Kristal Putih (GKP). Target tersebut dapat tercapai jika, ada penambahan 350.000 ha lahan tanaman tebu yang baru, revitalisasi 52 pabrik gula milik BUMN, dan penambahan 10 pabrik gula baru. Sementara ini, ada 12 peusahaan yang lahannya siap dikonversi untuk menjadi kebun tebu di areal hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) sebesar 246.213,35 ha di Lampung, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Papua.
Ada 22 perusahaan dengan ijin prinsip kebun tebu sebesar 333,3770 ha, dan 16 perusahaan konsesi tebu 448.142 ha. Arifin Tasrif menegaskan perlunya sinergi antara Pangan, Pupuk dan Energi Gas, masing-masing ada kontrak konsesi atau kerjasama selama 20 tahun sehingga perusahaan dapat penghasilan dan nilai tambah yang besar di dalam negeri serta akan berdampak multiplier effects. Sebagian besar, hampir sekitar 52% kebutuhan gula di Indonesia masih dipenuhi dari impor. Karena itu, rantai pasok gula dapat dibedakan menjadi gula produksi di dalam negeri dan gula impor. Gula produksi dalam negeri dapat dibedakan menjadi gula yang berasal dari tebu petani dan tebu perusahaan besar (BUMN dan Swasta) dan gula yang berasal dari impor gula mentah. Produksi gula dengan menggunakan gula mentah impor semula hanya bertujuan untuk mengisi kapasitas pabrik gula yang tidak terpakai (idle capacity). Namun akhir-akhir ini ada tujuan lain, yaitu mencari keuntungan besar karena: (1) Harga gula mentah sebagai bahan baku murah, sementara harga di dalam negeri tinggi; (2) Pasokan gula mentah sebagai bahan baku lebih mudah diperoleh dalam waktu cepat; dan (3) Biaya produksi lebih rendah karena tidak membangun kebun tebu sendiri. Dengan demikian, maka rantai pasok gula produksi dalam negeri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gula dari kebun tebu di dalam negeri dan gula dari gula mentah impor. Menurut regulasi yang berlaku, gula yang diproduksi dari gula mentah impor disebut Gula Kristal Rafinasi (GKR) hanya boleh dijual kepada industri makanan dan minuman, dan tidak boleh masuk ke pasar Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi langsung rumah tangga, warung dan industri rumah tangga. Kenyataan di lapangan kita sering menjumpai gula rafinasi masuk ke ranah-ranah terlarang, kapan kita dapat lepas dari belenggu impor gula ini?
Pijakan Industri Gula Aren, Belajar dari ”Oil Boom” dan Monokultur Sawit Indonesia pernah terjerumus dalam pola ekspor minyak mentah tanpa pernah mengembangkan industri pengolahan (refinery) di dalam negeri. Ada satu masa di mana minyak bumi menjadi primadona ekspor dan memberi penghasilan yang luar biasa besar bagi perekonomian kita. Namun, ketika masa keemasan sudah usai, di mana cadangan minyak mulai menipis dan harga mulai melambung, terasa betul kita adalah negara pengimpor minyak olahan. Saat ini hal yang sama akan terjadi jika kita sangat mengandalkan ekspor minyak sawit mentah (CPO), yang ditengarai dengan Pertama, nilai tambah bagi perekonomian sangat kecil, sehingga begitu CPO langka, maka kita akan membeli dengan sangat mahal barang-barang dan produk-produk turunan yang berbasis minyak sawit. Kedua, nilai tambah yang dihasilkan hanya terbatas pada sekelompok tertentu yang memiliki akses langsung pada budidaya kelapa sawit, terutama para pengusaha kelapa sawit, sedang kelompok masyarakat yang lain tidak mendapat manfaat secara signifikan. Bahkan pajak yang dibayarkan oleh pengusaha kelapa sawit termasuk dalam pajak ekspor sekalipun, tidak akan berarti banyak bagi pembangunan secara keseluruhan. Terlebih lagi apabila dampak lingkungan yang diakibatkan oleh keberadaan perkebunan sawit tak lagi bisa dikompensasi dengan penerimaan pemerintah dari pajak. Kelapa sawit akan menimbulkan dampak lingkungan secara signifikan, jadi perlu biaya mahal untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Pengembangan Aren Terpadu idealnya dapat menimba pengalaman duo bom minyak tersebut baik minyak fosil maupun minyak sawit, sehingga model pengembangannya dapat memberikan nilai tambah yang lebih banyak bagi masyarakat ‘pemangku’ pohon aren sendiri dan beberapa pihak yang ikut mendukungnya. Peran pabrik gula aren, koperasi nira aren dan kelompok petani aren setara sehingga akses dan kontrol terhadap produk-produknya dikelola secara transparan dan saling menguntungkan. Tak ada satu pun pihak yang ‘mendominasi’ atau paling istimewa dalam pengelolaan, budidaya, perdagangan, maupun transaksi di dalam pengembangan aren terpadu.
Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang sangat kaya. Masalahnya adalah ada kecenderungan “cara mengelola”-nya salah. Akibatnya, meskipun terjadi peningkatan kegiatan ekonomi, namun tidak semua lapisan masyarakat mampu memiliki akses untuk menikmatinya. Tuduhan yang lebih lugas, sumber daya alam telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para industrialis demi kesejahteraan sekelompok orang saja. Sementara amanat UUD 1945 menegaskan bahwa kekayaan tersebut harus dimanfaatkan demi kemakmuran seluruh bangsa. Meski potensi pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi sesungguhnya yang tumbuh adalah sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja, seperti sektor jasa, perdagangan dan keuangan (non-tradable). Jika yang tumbuh sektor ini maka sumbangan bagi nilai tambah perekonomian akan cenderung terbatas, termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja dan kontribusi ekspor.
Sektor tradable adalah sektor yang memproduksi barang yang dapat diperdagangkan dan dalam prosesnya memerlukan input sumber daya lebih banyak termasuk tenaga kerja, misalnya pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan manufaktur. Kualitas pertumbuhan yang tidak signifikan, juga dapat dideteksi dari alokasi penyaluran kredit yang banyak mengucur pada sektor yang tidak banyak menyerap tenaga kerja (non-tradable), seperti aktivitas konsumsi bukan pada investasi atau bukan dalam rangka memproduksi barang dan jasa. Jurang kesenjangan sosial atau ketimpangan di tengah masyarakat maupun antardaerah juga semakin menganga atau dalam. Hal ini menjadi penanda buruk, bahwa desentralisasi belum bekerja dengan baik, otonomi belum memberikan pemerataan kesejahteraan kepada masyarakat yang tinggal di daerah. Agaknya ada keengganan mengembangkan daerah sendiri atau belum mencoba terkadang sudah merasa sulit dengan berbagai alasan yang dibuat sendiri.
Pengembangan pohon industri aren ditujukan untuk menyejahterakan individu petani aren dan keluarganya, serta menyelamatkan ekosistem kawasan sebagai ruang tempat kita tinggal dan habitat bagi makhluk hidup yang lain. Input bahan baku dari aren yang berkualitas dan teknologi mutakhir seyogyanya dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, menambah jaminan mutu produk-produk turunannya dan juga kapasitas volumenya. Industri Aren? Apakah ini realistis? Adakah bukti-bukti empiris yang dapat menjadi dasar landasan kebijakan pengembangan di daerah? Apakah industri ini dapat menjadi ”Growth Engine” pendapatan ekonomi daerah? Inilah beberapa pertanyaan yang akan mengundang para pemimpin daerah dari mulai lurah, kepala desa, camat hingga bupati ataupun walikota untuk menjawabnya.
Jika mengamati perjalanan Yayasan Masarang dan melihat langsung di lapangan, tentu kita akan membuktikan sendiri bahwa pola pengembangan aren ini mampu membangkitkan semangat batifar, menumbuhkan rasa bangga menjadi pengehet dan menggerakkan roda ekonomi para penyadap aren, dengan output produk berupa gula cetak dan gula kristal yang dapat dijual baik untuk kebutuhan domestik maupun pemenuhan permintaan ekspor. Justru sekarang sejauh mana kepedulian para pemimpin daerah dalam mendukung kinerja pengembangan aren terpadu tersebut? Adakah insentif yang diberikan? Membangun pertanian agribisnis aren baik di perdesaan atau perkotaan pada dasarnya mengembangkan upaya kelembagaan (institutional building). Institusi atau kelembagaan adalah suatu aturan dan peran yang berpijak pada nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Hal ini jadi syarat keharusan sebagai ’entry point’ dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan dan berkeadilan. Secara operasional, sosok koperasi agribisnis dan koperasi milik masyarakat, petani atau nelayan semacam Badan Usaha Milik Petani/Nelayan atau Badan Usaha Milik Desa dipandang sebagai bangunan kelembagaan yang mampu berperan dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagaimana yang divisikan.
Mewujudkan upaya di atas tidaklah mudah dan sederhana. Karakteristik, keunikan dan keragaman yang tinggi pada berbagai kegiatan agribisnis di satu pihak, serta dinamika permintaan dan konsumsi yang sangat tinggi memerlukan manajemen pengelolaan yang terpadu. Kunci utamanya yaitu bagaimana kita dapat memanfaatkan segenap modal sosial yang ada di masyarakat, yang terletak pada kualitas sumber daya manusianya. Yang terpenting adalah bagaimana membangun SDM yang ada, dengan berbagai latar belakang dan kualitas yang berbeda-beda menjadi suatu team work yang harmonis. Banyak persoalan inefisiensi kelembagaan yang disebabkan oleh ketidak-harmonisan SDM yang terlibat di dalamnya. Apakah gula aren mampu memenuhi target kebutuhan konsumsi gula kristal masyarakat? Apakah produk gula aren lebih unggul dibanding gula tebu baik dari segi kualitas mutu dan harga? Seberapa banyak penyerapan tenaga kerja jika dua industri ini secara intensif berjalan dan mana yang lebih ramah lingkungan?
Ketepatan dalam memahami dan mendekati sosial budaya masyarakat yang beragam serta berbeda karakteristiknya menjadi kunci keberhasilan program pengembangan aren terpadu. Keberhasilan program aren terpadu mensyaratkan keterpaduan tiga tujuan yang berbeda, yaitu (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi modal (Profit), (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan (People), (3) tujuan lingkungan/ ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang dapat menjamin keberlanjutan bahan baku alam dan kelestariannya (Planet).