Minggu, 01 Juni 2008

CSR, Lupa (dan) Luka?

CSR, Lupa (dan) Luka?

by DaRu indriYo



Isu Corporate Social Responsibility (CSR) akhir-akhir ini menjadi “trade mark” tersendiri seiring dengan tuntutan konsumen yang semakin cerdas memilih produk dan menilai perusahaan yang mampu membuka pola manajemennya secara transparan. Pilihan ini adalah pilihan yang sangat realistis, karena di samping mereka membutuhkan produk yang berkualitas, konsumen juga menuntut kinerja perusahaan yang unggul baik dari segi produksi, sosial dan lingkungan.

Dari sebuah hasil riset ditengarai 35 % responden mengatakan komitmen perusahaan terhadap CSR akan menentukan sikapnya untuk membeli atau tidak produk-produk yang dikeluarkannya. Ada perusahaan minyak yang berbasis di Eropa melakukan CSR di Afrika dengan melakukan pendidikan usia dini, memberi pelatihan keterampilan kecakapan hidup (lifeskills) untuk remaja dan pemuda, serta membangun jaringan perdagangan bersama komunitas lokal.

Konsumen secara tidak langsung sudah menjadi penentu kebijakan perusahaan. Tren lifestyle akan menentukan sebuah produk itu akan laku atau tidak di pasar. Kecerdasan konsumen ini membuat perusahaan-perusahaan besar untuk lebih hati-hati dalam menjaga kepekaan terhadap keluhan konsumen atau kepedulian terhadap dampak industri terhadap lingkungannya.

Di Finlandia salah satu negara di Skandinavia memulai program CSR karena faktor perilaku konsumen yang mendapat informasi kinerja perusahaan-perusahaan dari sebuah surveyor independen atau swasta. Hampir 75 % dari konsumen meyakini terhadap perlakuan perusahaan terhadap buruh, pekerja atau karyawannya dan perlakuan ramah terhadap lingkungan menjadi kunci praktik-praktik bisnis yang baik (Good Corporate Governance (GCG)).

CSR dan GCG seperti dua sisi mata uang. Perusahaan yang sudah meyakini praktik CSR sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap lingkungan sekitar akan berimplikasi terhadap meningkatnya produktivitas kerja dan performa perusahaan. Sebaliknya, perusahaan yang menganggap CSR hanya sebagai charity, bagi-bagi sembako, peredam konflik, gula-gula usaha, pagar pengaman perusahaan, maka perusahaan hanya menutup kepedulian temporer, padahal dibalik industrinya itu bisa jadi ada ”luka” permanen yang tidak bisa digantikan, baik secara ekonomi, sosial, budaya, hak asasi manusia maupun lingkungan.

Kemunculan CSR dimulai dari kepedulian terhadap ”luka-luka kecil” yang lama kelamaan membesar dan berdampak terhadap lingkungan global. Isu pemanasan global, misalnya dimulai dari emisi-emisi pabrik yang akumulasinya berdampak menipisnya lapisan ozon. Isu hak asasi manusia, dimulai dari konflik atau gagalnya perusahaan berdialog dengan masyarakat adat menyebabkan peminggiran, pengasingan hingga penindasan terhadap hak-hak adat, sehingga akses dan hak kelola mereka dikebiri.

Persepsi terhadap CSR terus berkembang mengacu pada sebuah hulu yaitu etika bisnis. Arus spirit of liberalism yang mendewakan capitalism menjadikan erosi etos dan degradasi budaya bisnis. Muaranya adalah ancaman terhadap bisnis itu sendiri, karena terjebak pada logika eksploitasi yang tidak berkelanjutan dan produktivitas yang tidak lestari.

Zaman menuntut perubahan, apakah dunia bisnis mau berubah? Malpraktik mainstream bisnis selama ini, seharusnya disadari lalu mereposisi dan merevitalisasi. Hal ini dikarenakan perusahaan ”lupa” melakukan kewajiban-kewajiban yang mesti dipikulnya. Budaya wirausaha yang harus mengoptimalkan kinerjanya, memuaskan pelanggan dan menjaga citra agar produknya tetap tepat sasaran tentu perlu tenaga ekstra yang luar biasa. Wajar jika mereka agak mengesampingkan sisi lain yang luput dari pandangannya. Pengusaha juga manusia, lupa terhadap luka dapat bermakna kegigihan usaha dan keteguhan jiwa, namun juga dapat berarti keteledoran perilaku dan kelalaian jiwa. CSR agaknya akan menjawab pada pilihan terakhir ini.


Tidak ada komentar: